Sejatinya, ada
banyak ragam bacaan Al Qur’an. Rasululloh shollollohu
alaihi wa sallam mengatakan bahwa Al Qur’an ini diturunkan dalam tujuh
huruf. Sabda beliau, “Sesungguhnya Al Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf.
Maka, bacalah apa yang mudah darinya. “ (Muttafaq alaih dari Umar bin Khotthob rodhiyallohu anhu)
Tujuh huruf ini
bukan berarti tujuh macam bacaan. Karena, menurut para ulama, angka tujuh di
sini bukanlah bilangan tertentu dalam arti sebenarnya, melainkan untuk
menunjukkan suatu jumlah yang banyak. Ia mempunyai makna; keringanan,
kemudahan, dan keluasan. Maksudnya, karena bangsa Arab (waktu itu) terdiri dari
banyak suku dan kabilah, di mana masing-masing mempunyai sejumlah perbedaan
dalam kosa kata dan logat, maka sangat terbuka kemungkinan adanya perbedaan
dalam bacaan. Dan, inilah fleksibilitas Al Qur’an. Dari sinilah, muncul istilah
qiroah sab’ah (qiroat tujuh) dan qiroah asyroh (qiroat sepuluh).
Istilah qiroat ini
disandarkan kepada imamnya. Misalnya, ada salah seorang imam qiroat bernama
Ashim bin Abi An Najud Al Kufi, maka qiroatnya disebut qiroat Ashim. Dan,
masing-masing imam ini mempunyai dua orang perawi yang meriwayatkan qiroat
gurunya. Dalam contoh ini, yakni ragam bacaan yang biasa kita baca berdasarkan
riwayat Hafsh bin Sulaiman, maka penyebutannya adalah riwayat Hafsh ‘an Ashim
atau qiroaat Ashim riwayat Hafsh.
Sedangkan standar
keabsahan dari bacaan imam qiroat ini didasarkan atas talaqqi (penerimaan
langsung) kepada generasi-generasi berikut dan sebelumnya. Karena itu,
tingkatan sanad (jalur periwayatannya) terbagi atas 5 tingkatan, yaitu:
- Mutawatir, yaitu diriwayatkan sejumlah perawi dan bersambung sampai Nabi shollollohu alaihi wa sallam.
- Masyhur, yakni mempunyai sanad yang shohih, hanya saja perawinya tidak sebanyak perawi mutawatir.
- Ahad, yakni mempunyai sanad shohih, tapi tidak cocok dengan dengan Rosm (tulisan baku) utsmani atau kaidah bahasa arab. Qiroat ini tidak populer, hanya orang yang telah benar-benar mendalami ilmu qiroat yang dapat mengetahuinya.
- Syadz, yaitu tidak mempunyai sanad yang shohih, perawinya terputus, tidak sesuai dengan kaidah bahasa arab atau khot Utsmani. Qiroat ini sangat jarang yang menguasainya dan statusnya hanya sebagai ilmu pengetahuan, tidak sebagai pegangan.
- Maudhu artinya palsu yakni qiroah buatan yang tidak memiliki dasar dan sanad yang jelas.
Nama Imam Qiroat Asyroh
- Nafi bin Abdurrohman bin Abu Nu’aim Al Laitsi (w. 169H), beliau imam qoriah madzhab Madinah. Perawinya Qolun, Abu Musa Isa bin Mina (w. 220H) dan Warosy, Utsman bin Sa’id Al Mishri (w.197)
- Ibnu Katsir, Abu Ma’bad Abdulloh ibnu Katsir Al Makki (w. 120H), beliau imam qoriah madzhab Mekah. Perawinya Al Bazzi, Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abu Bazzah (w. 250H) dan Qunbul Muhammad bin Abdurrohman bin Muhammad Al Makhzumi (w. 291H)
- Abu Amr, Zabban bin Al ‘Ala bin Ammar (w.154H), beliau imam madzhab di Bashroh. Perawinya Ad Duri, Abu Amar bin Hafash bin Umar (w.246H) dan As Susy, Abu Syu’aib Sholih bin Ziyad As Susy (w. 261H)
- Ibnu Amir, Abdulloh bin Amir Al Yahshabi (w. 118H), imam madzhab qurro di Syam. Perawinya Hisyam bin Ammar Al Dimasyqi (w. 245H) dan Ibnu Dzakwan Abu Amir Abdulloh bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Al Dimasyqi (w. 242H)
- Ashim, Abu Bakar bin Abun Najud Al Asadi (w. 128H), imam madzhab qurro’ di Kuffah. Perawinya Syu’bah, Abu Bakar Syu’bah bin Ayyasy bin Salim Al Asadi (w. 193H) dan Hafsh, Abu Amar Hafsh bin Sulaiman bin Al Mughiroh (w. 180H)
- Hamzah bin Hubaib Az Zayyat (w. 156H), imam madzhab qurro di Kuffah. Perawinya Kholaf, Abu Muhammad Kholaf bin Hisyam Al Bazzaz (w. 229H) dan Khollad, Abu Isa Khollad bin Kholid As Sairofi (w. 220H)
- Al Kisa’i, Abu Hasan Ali bin Hamzah Al Kisa’i (w. 189H), imam qiroat di Kuffah. Perawinya Abu Harits, Al Laits bin Kholid Al Baghdadi (w. 240H) dan Ad Duri yang juga perawi Abu Amr (w. 246H)
- Abu Ja’far, Yazid bin Al Qo’qo Al Makhzumi (w. 130H), beliau ulama qurro’ di Madinah. Perawinya Ibnu Wirdan, Abu Musa Isa bin Wirdan Al Madani (w. 160H) dan Ibnu Jammaz, Abdur Robi’ Sulaiman bin Muslim bin Jammaz (w.170H)
- Ya’qub, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al Hadromi (w. 205H), beliau ulama madzhab Bashroh. Perawinya Rauh, Abu Hasan Rauh bin Abdul Mu’min bin Ubdah bin Muslim Al Hazali An Nahwi (w. 234H) dan Ruwais, Abu Abdulloh Muhammad bin Al Mutawakkil Al Lu’luil Bashroh (w. 238H)
- Khollaf bin Hisyam (w. 229H), ulama qurro’ di Kuffah. Perawinya Ishaq, Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrohim bin Utsman bin Abdulloh Al Marwizi (w. 286H) dan Idris, Abu Hasan bin Abdul Karim Al Haddad Al Baghdadi (w. 292H)
Contoh Aplikatif Qiroah
Awalnya, bukan
mustahil ada di antara kita membayangkan adanya perbedaan bacaan ini, baik pada
qiroah sab’ah maupun qiroah asyroh, mencakup keseluruhan ayat. Ternyata
tidaklah demikian. Tidak setiap kalimat atau ayat itu
terdapat ikhtilaf (perbedaan bacaan) dan tidak setiap qori’ dari imam qiroat itu
berbeda bacaan dengan yang lain.
Adakalanya dalam satu imam itu tidak terjadi perbedaan bacaan di
kalangan perawinya, dan adakalanya perbedaan itu lebih dari satu.
Salah satu contoh
adalah bacaan ارْكَب
مَّعَنَا dalam surat Hud ayat 42.
Dalam qiroat Asyroh; Abu Amr, Al Kisai dan Ya’qub membaca dengan idghom.
Sementara Warosy, Ibnu Amir, Kholaf dan Abu Ja’far membaca dengan idzhar.
Adapun Ibnu Katsir, Ashim, Qolun dan Khollad membaca dengan dua cara; idghom
dan idzhar. Dan jika dibaca dengan idzhar maka dibaca dengan qolqolah. Pada
contoh di atas Warosy yang merupakan perawi Imam Nafi membaca dengan idzhar,
sementara perawi lainnya Qolun membaca dengan dua wajah, yakni idghom dan
idzhar.
Berikut ini contoh aplikatif qiroah sab’ah dalam surat Al-Fatihah.
Pada ayat pertama;
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
tidak satupun imam qiroat
berbeda pendapat perihal bacaan ayat ini. Artinya tidak boleh merubah
sedikitpun, baik dari aspek harakat maupun hurufnya. Memang, di beberapa kitab
tafsir, dijelaskan macam-macam alternatif bacaan pada ayat ini. Diantaranya
bolehnya memfathahkan atau mendhommahkan
“nun” dan “mim pada kata “ar-rohman”
dan “ar-rohim”.
Dalam kajian ilmu nahwu, variasi I’rob seperti ini masih bisa dibenarkan,
dengan alasan semata analisis kalimat. Namun, dalam ilmu qiroat yang memiliki sanad mutawatir,
ternyata tidak ada perbedaan bacaan “basmalah” tersebut dan tidak dibenarkan
membaca di luar itu. Jadi, tujuh imam dan 14 perawinya membaca ayat tersebut
secara sama. Demikian juga halnya pada ayat 2, 3 dan 5 pada surat al-Fatihah.
Pada ayat 4;
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
para imam tujuh berbeda pendapat mengenai kata “maliki”, ada yang
memanjangkan satu alif dan ada juga yang mengqoshor
satu harakat. Imam Ashim dan Al Kisa’i
membacanya panjang, sementara kelima imam yang lain membaca pendek.
Kemudian,
ayat 3 dan 4 apabila diwasholkan
akan muncul dua wajh (variasi). Variasi pertama, dibaca seperti biasa, dan
variasi kedua, dibaca dengan idghom
kabir, yakni menjadikan pertemuan dua mim pada kalimat:
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ == sama panjangnya dengan mad lazim kilmi mutsaqqol, artinya harakat kasroh pada mim “ar-rohim” melebur pada mim “maliki” disertai
panjang 6 harakat disertai pemberatan bacaan. Idghom kabir semacam ini hanya dijumpai dalam
riwayat As-Susy yang merupakan perawi dari Imam Abu Amr.
Pada ayat 6:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
terdapat ikhtilaf pada kata “ash-shiroth”.
Riwayat Qunbul
pada bacaan Imam Nafi’ membaca “shod”
dengan “siin” dan dua riwayat dari Imam Hamzah (Kholaf
dan Kholad) membaca “shod” dengan isymam, yaitu menggabungkan
bunyi “shod’
dengan “za’”. Jadi, ketika membaca ikhtilaf dari ayat ini, diperlukan pengulangan tiga kali; (1) bacaan biasa, (2)
mengganti dengan “siin”, dan (3) membaca isymam.
Pada ayat 7:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا الضَّالِّينَ terdapat dua kata yang
mengandung ikhtilaf, yaitu “shiroth”
dan “mim jama”. Untuk bacaan isymam shod
pada ayat ini hanya milik Kholaf, sementara Kholad
semata-mata mengisymamkan ayat 6 saja, meski keduanya merupakan perawi dari
Imam Hamzah. Selain itu, imam nafi’ riwayat Qolun, mendhommahkan mim jama dan memanjangkan satu
alif, istilah ini disebut dengan “shilah”. Ini adalah wajh kedua dari Qolun, sementara wajh pertamanya sama
dengan imam-imam yang lain, yakni mensukunkan mim jama’, istilah ini disebut
“sukun”. Disamping itu pada bacaan Imam Hamzah, huruf ha’ yang jatuh sebelum
mim jama’ harus dibaca “dhommah”,
sehingga menjadi “alaihum”.
Dengan demikian, untuk membaca ayat ini diperlukan
lima kali pengulangan, yaitu: (1) bacaan biasa, (2), shad biasa dan shilah Qolun, (3) shod biasa dan ha’ dhommah dari Kholad,
(4) mengganti shod
dengan siin disertai shilah dari Qunbul,
dan (5) isymam shod
disertai ha’ dhommah
dari Kholaf.
Sumber : cahayaqurani.wordpress.com dan sumber lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar