Laman

Rabu, 09 Oktober 2013

Mengenal Qiroah Asyroh

Sejatinya, ada banyak ragam bacaan Al Qur’an. Rasululloh shollollohu alaihi wa sallam mengatakan bahwa Al Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf. Sabda beliau, “Sesungguhnya Al Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf. Maka, bacalah apa yang mudah darinya. “ (Muttafaq alaih dari Umar bin Khotthob rodhiyallohu anhu)

Tujuh huruf ini bukan berarti tujuh macam bacaan. Karena, menurut para ulama, angka tujuh di sini bukanlah bilangan tertentu dalam arti sebenarnya, melainkan untuk menunjukkan suatu jumlah yang banyak. Ia mempunyai makna; keringanan, kemudahan, dan keluasan. Maksudnya, karena bangsa Arab (waktu itu) terdiri dari banyak suku dan kabilah, di mana masing-masing mempunyai sejumlah perbedaan dalam kosa kata dan logat, maka sangat terbuka kemungkinan adanya perbedaan dalam bacaan. Dan, inilah fleksibilitas Al Qur’an. Dari sinilah, muncul istilah qiroah sab’ah (qiroat tujuh) dan qiroah asyroh (qiroat sepuluh).

Istilah qiroat ini disandarkan kepada imamnya. Misalnya, ada salah seorang imam qiroat bernama Ashim bin Abi An Najud Al Kufi, maka qiroatnya disebut qiroat Ashim. Dan, masing-masing imam ini mempunyai dua orang perawi yang meriwayatkan qiroat gurunya. Dalam contoh ini, yakni ragam bacaan yang biasa kita baca berdasarkan riwayat Hafsh bin Sulaiman, maka penyebutannya adalah riwayat Hafsh ‘an Ashim atau qiroaat Ashim riwayat Hafsh.

Sedangkan standar keabsahan dari bacaan imam qiroat ini didasarkan atas talaqqi (penerimaan langsung) kepada generasi-generasi berikut dan sebelumnya. Karena itu, tingkatan sanad (jalur periwayatannya) terbagi atas 5 tingkatan, yaitu:
  1. Mutawatir, yaitu diriwayatkan sejumlah perawi dan bersambung sampai Nabi  shollollohu alaihi wa sallam.
  2. Masyhur, yakni mempunyai sanad yang shohih, hanya saja perawinya tidak sebanyak perawi mutawatir.
  3. Ahad, yakni mempunyai sanad shohih, tapi tidak cocok dengan dengan Rosm (tulisan baku) utsmani atau kaidah bahasa arab. Qiroat ini tidak populer, hanya orang yang telah benar-benar mendalami ilmu qiroat yang dapat mengetahuinya.
  4. Syadz, yaitu tidak mempunyai sanad yang shohih, perawinya terputus, tidak sesuai dengan kaidah bahasa arab atau khot Utsmani. Qiroat ini sangat jarang yang menguasainya dan statusnya hanya sebagai ilmu pengetahuan, tidak sebagai pegangan.
  5. Maudhu artinya palsu yakni qiroah buatan yang tidak memiliki dasar dan sanad yang jelas.
Nama Imam Qiroat Asyroh
  1. Nafi bin Abdurrohman bin Abu Nu’aim Al Laitsi (w. 169H), beliau imam qoriah madzhab Madinah. Perawinya Qolun, Abu Musa Isa bin Mina (w. 220H) dan Warosy, Utsman bin Sa’id Al Mishri (w.197)
  2. Ibnu Katsir, Abu Ma’bad Abdulloh ibnu Katsir Al Makki (w. 120H), beliau imam qoriah madzhab  Mekah. Perawinya Al Bazzi, Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abu Bazzah (w. 250H) dan Qunbul Muhammad bin Abdurrohman bin Muhammad Al Makhzumi (w. 291H)
  3. Abu Amr, Zabban bin Al ‘Ala bin Ammar (w.154H), beliau imam madzhab di Bashroh. Perawinya Ad Duri, Abu Amar bin Hafash bin Umar (w.246H) dan As Susy, Abu Syu’aib Sholih bin Ziyad As Susy (w. 261H)
  4. Ibnu Amir, Abdulloh bin Amir Al Yahshabi (w. 118H), imam madzhab qurro di Syam. Perawinya Hisyam bin Ammar Al Dimasyqi (w. 245H) dan Ibnu Dzakwan Abu Amir Abdulloh bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Al Dimasyqi (w. 242H)
  5. Ashim, Abu Bakar bin Abun Najud Al Asadi (w. 128H), imam madzhab qurro’ di Kuffah. Perawinya Syu’bah, Abu Bakar Syu’bah bin Ayyasy bin Salim Al Asadi (w. 193H) dan Hafsh, Abu Amar Hafsh bin Sulaiman bin Al Mughiroh (w. 180H)
  6. Hamzah bin Hubaib Az Zayyat (w. 156H), imam madzhab qurro di Kuffah. Perawinya Kholaf, Abu Muhammad Kholaf bin Hisyam Al Bazzaz (w. 229H) dan Khollad, Abu Isa Khollad bin Kholid As Sairofi (w. 220H)
  7. Al Kisa’i, Abu Hasan Ali bin Hamzah Al Kisa’i (w. 189H), imam qiroat di Kuffah. Perawinya Abu Harits, Al Laits bin Kholid Al Baghdadi (w. 240H) dan Ad Duri yang juga perawi Abu Amr (w. 246H)
  8. Abu Ja’far, Yazid bin Al Qo’qo Al Makhzumi (w. 130H), beliau ulama qurro’ di Madinah. Perawinya Ibnu Wirdan, Abu Musa Isa bin Wirdan Al Madani (w. 160H) dan Ibnu Jammaz, Abdur Robi’ Sulaiman bin Muslim bin Jammaz (w.170H)
  9. Ya’qub, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al Hadromi (w. 205H), beliau ulama madzhab Bashroh. Perawinya Rauh, Abu Hasan Rauh bin Abdul Mu’min bin Ubdah bin Muslim Al Hazali An Nahwi (w. 234H) dan Ruwais, Abu Abdulloh Muhammad bin Al Mutawakkil Al Lu’luil Bashroh (w. 238H)
  10. Khollaf bin Hisyam (w. 229H), ulama qurro’ di Kuffah. Perawinya Ishaq, Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrohim bin Utsman bin Abdulloh Al Marwizi (w. 286H) dan Idris, Abu Hasan bin Abdul Karim Al Haddad Al Baghdadi (w. 292H)
Contoh Aplikatif Qiroah

Awalnya, bukan mustahil ada di antara kita membayangkan adanya perbedaan bacaan ini, baik pada qiroah sab’ah maupun qiroah asyroh, mencakup keseluruhan ayat. Ternyata tidaklah demikian. Tidak setiap kalimat atau ayat itu terdapat ikhtilaf (perbedaan bacaan) dan tidak setiap qori’ dari imam qiroat itu berbeda bacaan dengan yang lain.  Adakalanya dalam satu imam itu tidak terjadi perbedaan bacaan di kalangan perawinya, dan adakalanya perbedaan itu lebih dari satu.

Salah satu contoh adalah bacaan  ارْكَب مَّعَنَا  dalam surat Hud ayat 42. Dalam qiroat Asyroh; Abu Amr, Al Kisai dan Ya’qub membaca dengan idghom. Sementara Warosy, Ibnu Amir, Kholaf dan Abu Ja’far membaca dengan idzhar. Adapun Ibnu Katsir, Ashim, Qolun dan Khollad membaca dengan dua cara; idghom dan idzhar. Dan jika dibaca dengan idzhar maka dibaca dengan qolqolah. Pada contoh di atas Warosy yang merupakan perawi Imam Nafi membaca dengan idzhar, sementara perawi lainnya Qolun membaca dengan dua wajah, yakni idghom dan idzhar.

Berikut ini contoh aplikatif qiroah sab’ah dalam surat Al-Fatihah.

Pada ayat pertama; بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ     tidak satupun imam qiroat berbeda pendapat perihal bacaan ayat ini. Artinya tidak boleh merubah sedikitpun, baik dari aspek harakat maupun hurufnya. Memang, di beberapa kitab tafsir, dijelaskan macam-macam alternatif bacaan pada ayat ini. Diantaranya bolehnya memfathahkan atau mendhommahkan “nun” dan “mim pada kata “ar-rohman” dan “ar-rohim”.

Dalam kajian ilmu nahwu, variasi I’rob seperti ini masih bisa dibenarkan, dengan alasan semata analisis kalimat. Namun, dalam ilmu qiroat yang memiliki sanad mutawatir, ternyata tidak ada perbedaan bacaan “basmalah” tersebut dan tidak dibenarkan membaca di luar itu. Jadi, tujuh imam dan 14 perawinya membaca ayat tersebut secara sama. Demikian juga halnya pada ayat 2,  3 dan 5 pada surat al-Fatihah.

Pada ayat 4; مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ para imam tujuh berbeda pendapat mengenai kata “maliki”, ada yang memanjangkan satu alif dan ada juga yang mengqoshor satu harakat. Imam Ashim dan Al Kisa’i membacanya panjang, sementara kelima imam yang lain membaca pendek. Kemudian, ayat 3 dan 4 apabila diwasholkan akan muncul dua wajh (variasi). Variasi pertama, dibaca seperti biasa, dan variasi kedua, dibaca dengan idghom kabir, yakni menjadikan pertemuan dua mim pada kalimat: الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ  مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ  == sama panjangnya dengan mad lazim kilmi mutsaqqol, artinya harakat kasroh pada mim “ar-rohim” melebur pada mim “maliki” disertai panjang 6 harakat disertai pemberatan bacaan. Idghom kabir semacam ini hanya dijumpai dalam riwayat As-Susy yang merupakan perawi dari Imam Abu Amr.

Pada ayat 6: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ terdapat ikhtilaf pada kata “ash-shiroth”. Riwayat Qunbul pada bacaan Imam Nafi’ membaca “shod” dengan “siin” dan dua riwayat dari Imam Hamzah (Kholaf dan Kholad) membaca “shod” dengan isymam, yaitu menggabungkan bunyi “shod’ dengan “za’”. Jadi, ketika membaca ikhtilaf dari ayat ini, diperlukan pengulangan tiga kali; (1) bacaan biasa, (2) mengganti dengan “siin”, dan (3) membaca isymam.

Pada ayat 7: صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ  terdapat dua kata yang mengandung ikhtilaf, yaitu “shiroth” dan “mim jama”. Untuk bacaan isymam shod pada ayat ini hanya milik Kholaf, sementara Kholad semata-mata mengisymamkan ayat 6 saja, meski keduanya merupakan perawi dari Imam Hamzah. Selain itu, imam nafi’ riwayat Qolun, mendhommahkan mim jama dan memanjangkan satu alif, istilah ini disebut dengan “shilah”. Ini adalah wajh kedua dari Qolun, sementara wajh pertamanya sama dengan imam-imam yang lain, yakni mensukunkan mim jama’, istilah ini disebut “sukun”. Disamping itu pada bacaan Imam Hamzah, huruf ha’ yang jatuh sebelum mim jama’ harus dibaca “dhommah”, sehingga menjadi “alaihum”.
Dengan demikian, untuk membaca ayat ini diperlukan lima kali pengulangan, yaitu: (1) bacaan biasa, (2), shad biasa dan shilah Qolun, (3) shod biasa dan ha’ dhommah dari Kholad, (4) mengganti shod dengan siin disertai shilah dari Qunbul, dan (5) isymam shod disertai ha’ dhommah dari Kholaf.
 
Sumber : cahayaqurani.wordpress.com dan sumber lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar