Dari Abu Qatâdah Al-Anshâry radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari ‘Arafah maka beliau menjawab,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa tersebut) menggugurkan dosa tahun yang lalu dan tahun yang tersisa.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, beliau bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ
“Saya mengharap pahala dari Allah bahwa puasa hari ‘Arafah menggugurkan dosa tahun sebelumnya dan tahun setelahnya.” [1]
Hadits di atas menunjukkan keutamaan puasa ‘Arafah yang sangat
besar, yang siapa saja yang mengamalkan puasa tersebut, Allah akan
menggugurkan dosa-dosanya yang telah berlalu pada tahun itu dan
dosa-dosanya yang akan datang hingga akhir tahun, bahkan, dalam riwayat
lain, Allah akan menggugurkan dosa dua tahun; tahun sebelumnya dan tahun
setelahnya.
Menurut kebanyakan ulama, dosa-dosa yang digugurkan di sini adalah
dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, seperti zina dan mencuri, dosa
tersebut digugurkan dengan cara pelakunya bertaubat atau ditegakkan
hukum had terhadapnya.
Selain itu, bila hari ‘Arafah bertepatan dengan hari Jum’at,
seseorang tidak mengapa melaksanakan puasa pada hari Jum’at tersebut
sebab puasa sunnah pada hari Jum’at hanya dilarang bila dilaksanakan
karena Jum’at itu sendiri. Adapun kalau ia berpuasa bukan karena Jum’at
tersebut, melainkan karena bertepatan dengan hari ‘Arafah, hal tersebut
tidak tercakup ke dalam larangan.
Namun, pembaca perlu mengetahui bahwa kesunnahan berpuasa ‘Arafah ini
-menurut kebanyakan ulama- hanyalah berlaku bagi orang-orang yang tidak
melaksanakan wuquf di ‘Arafah dalam pelaksanaan ibadah haji. Hal ini
karena orang-orang yang melaksanakan wuquf sebaiknya berbuka (tidak
berpuasa) di padang ‘Arafah guna memperbanyak doa dengan penuh semangat
dan kesungguhan berdasarkan hadits Ummul Fadhl bintu Al-Harits radhiyallâhu ‘anhâ,
أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِيْ صَوْمِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ ،
فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهْوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ
فَشَرِبَهُ
“Sekolompok manusia berselisih di sisi (Ummul Fadhl) tentang
puasa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Arafah: sebagian
mereka berkata, ‘Beliau berpuasa,’ sedangkan sebagian lain berkata,
‘Beliau tidak berpuasa.’ Oleh karena itu, (Ummul Fadhl) mengirim bejana
berisi susu, sementara beliau melaksanakan wuquf di atas untanya, kemudian beliau meminum (susu) tersebut.” [2]
Juga berdasarkan hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari ‘Arafah, hari An-Nahr, dan hari-hari Tasyriq adalah ‘Id kita -umat Islam-. Itu adalah hari-hari makan dan minum.” [3]
Maksudnya adalah bahwa hari ‘Arafah termasuk hari-hari makan dan
minum bagi mereka yang berada di ‘Arafah sebagaimana yang dipahami oleh
An-Nasâ`iy, Al-Baihaqy, dan lain-lain.
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “… yang benar adalah
bahwa hal terbaik bagi orang-orang berada di ufuq (baca: tidak berada di
‘Arafah) adalah berpuasa, sedangkan (hal terbaik) bagi orang-orang yang
berada di ‘Arafah adalah berbuka (tidak berpuasa) karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
memilih hal tersebut untuk dirinya, sementara para khalifah setelahnya
(juga) beramal dengan berbuka. Selain itu, dalam hal tersebut, ada
kekuatan untuk berdoa, (karena ‘Arafah) merupakan sebaik-baik (tempat
pelaksanaan) doa seorang hamba, juga menunjukkan bahwa ‘Arafah adalah
‘Id bagi penduduk ‘Arafah maka mereka tidaklah disunnahkan untuk
berpuasa ….”[4]
[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1162, At-Tirmidzy no. 748, dan Ibnu Mâjah no. 1730.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 1658, 1661, 1988, 5604, 5604, 5618, 5636, Muslim no. 1123, dan Abu Dâwud no. 2441.
[3]
Diriwayatkan oleh Ahmad 4/152, Ad-Dârimy 2/37, Abu Dâwud no. 2419,
At-Tirmidzy no. 773, An-Nasâ`iy 5/252, Ibnu Khuzaimah no. 2100, Ibnu
Hibbân 3603, Al-Hâkim 1/600 , serta Al-Baihaqy 4/298 dan dalam Fadhâ`il Al-Auqât no. 216. Dishahihkan oleh Al-Albâny rahimahullâh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar