JURUS 1: “NABI DAN AHLUL BAIT”
Tanyakan kepada orang Syi’ah:
“Apakah Anda mencintai dan memuliakan Ahlul Bait Nabi?” Dia pasti akan
menjawab: “Ya! Bahkan mencintai Ahlul Bait merupakan pokok-pokok akidah
kami.” Kemudian tanyakan lagi: “Benarkah Anda sungguh-sungguh mencintai
Ahlul Bait Nabi?” Dia tentu akan menjawab: “Ya, demi Allah!”
Kalau Syi’ah
benar-benar mencintai Ahlul Bait, seharusnya mereka lebih mendahulukan
Sunnah Nabi, bukan sunnah dari Ahlul Bait beliau…
Lalu katakan
kepada dia: “Ahlul Bait Nabi adalah anggota keluarga Nabi. Kalau orang
Syi’ah mengaku sangat mencintai Ahlul Bait Nabi, seharusnya mereka lebih
mencintai sosok Nabi sendiri? Bukankah sosok Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam lebih utama daripada Ahlul Bait-nya? Mengapa kaum
Syi’ah sering membawa-bawa nama Ahlul Bait, tetapi kemudian melupakan
Nabi?”
Faktanya,
ajaran Syi’ah sangat didominasi oleh perkataan-perkataan yang katanya
bersumber dari Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan anak keturunan mereka.
Kalau Syi’ah benar-benar mencintai Ahlul Bait, seharusnya mereka lebih
mendahulukan Sunnah Nabi, bukan sunnah dari Ahlul Bait beliau. Syi’ah
memuliakan Ahlul Bait karena mereka memiliki hubungan dekat dengan Nabi.
Kenyataan ini kalau digambarkan seperti: “Lebih memilih kulit rambutan
daripada daging buahnya.”
JURUS 2: “AHLUL BAIT DAN ISTERI NABI”
Tanyakan kepada orang Syi’ah:
“Siapa saja yang termasuk golongan Ahlul Bait Nabi?” Nanti dia akan
menjawab: “Ahlul Bait Nabi adalah Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan
anak-cucu mereka.” Lalu tanyakan lagi: “Bagaimana dengan isteri-isteri
Nabi seperti Khadijah, Saudah, Aisyah, Hafshah, Zainab, Ummu Salamah,
dan lain-lain? Mereka termasuk Ahlul Bait atau bukan?” Dia akan
mengemukakan dalil, bahwa Ahlul Bait Nabi hanyalah Fathimah, Ali, Hasan,
Husein, dan anak-cucu mereka.
Bagaimana bisa cucu-cucu Ali yang tidak pernah melihat Rasulullah dimasukkan Ahlul Bait, sementara istri-istri yang biasa tidur seranjang bersama Nabi tidak dianggap Ahlul Bait?…
Kemudian
tanyakan kepada orang itu: “Bagaimana bisa Anda memasukkan keponakan
Nabi (Ali) sebagai bagian dari Ahlul Bait, sementara istri-istri Nabi
tidak dianggap Ahlul Bait? Bagaimana bisa cucu-cucu Ali yang tidak
pernah melihat Rasulullah dimasukkan Ahlul Bait, sementara istri-istri
yang biasa tidur seranjang bersama Nabi tidak dianggap Ahlul Bait?
Bagaimana bisa Fathimah lahir ke dunia, jika tidak melalui istri Nabi,
yaitu Khadijah Radhiyallahu ‘Anha? Bagaimana bisa Hasan dan Husein lahir
ke dunia, kalau tidak melalui istri Ali, yaitu Fathimah? Tanpa
keberadaan para istri shalihah ini, tidak akan ada yang disebut Ahlul
Bait Nabi.”
Faktanya,
dalam Surat Al Ahzab ayat 33 disebutkan: “Innama yuridullahu li
yudzhiba ‘ankumul rijsa ahlal baiti wa yuthah-hirakum that-hira”
(bahwasanya Allah menginginkan menghilangkan dosa dari kalian, para
ahlul bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya).
Dalam ayat ini
istri-istri Nabi masuk kategori Ahlul Bait, menurut Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Bahkan selama hidupnya, mereka mendapat sebutan Ummul Mu’minin
(ibunda orang-orang Mukmin) Radhiyallahu ‘Anhunna.
JURUS 3: “ISLAM DAN SAHABAT”
Tanyakan kepada orang Syi’ah:
“Apakah Anda beragama Islam?” Maka dia akan menjawab dengan penuh
keyakinan: “Tentu saja, kami adalah Islam. Kami ini Muslim.” Lalu
tanyakan lagi ke dia: “Bagaimana cara Islam sampai Anda, sehingga Anda
menjadi seorang Muslim?” Maka orang itu akan menerangkan tentang
silsilah dakwah Islam. Dimulai dari Rasulullah, lalu para Shahabatnya,
lalu dilanjutkan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, lalu dilanjutkan para
ulama Salafus Shalih, lalu disebarkan oleh para dai ke seluruh dunia,
hingga sampai kepada kita di Indonesia.”
Kemudian
tanyakan ke dia: “Jika Anda mempercayai silsilah dakwah Islam itu,
mengapa Anda sangat membenci para Shahabat, mengutuk mereka, atau
menghina mereka secara keji? Bukankah Anda mengaku Islam, sedangkan
Islam diturunkan kepada kita melewati tangan para Shahabat itu. Tidak
mungkin kita menjadi Muslim, tanpa peranan Shahabat. Jika demikian,
mengapa orang Syi’ah suka mengutuk, melaknat, dan mencaci-maki para
Shahabat?”
Kaum Syi’ah
mencaci-maki para Shahabat dengan sangat keji. Tetapi mereka masih
mengaku sebagai Muslim. Kalau memang benci Shahabat, seharusnya mereka
tidak lagi memakai label Muslim…
Faktanya,
kaum Syi’ah sangat membingungkan. Mereka mencaci-maki para Shahabat
Radhiyallahu ‘Anhum dengan sangat keji. Tetapi di sisi lain, mereka
masih mengaku sebagai Muslim. Kalau memang benci Shahabat, seharusnya
mereka tidak lagi memakai label Muslim. Sebuah adagium yang harus selalu
diingat: “Tidak ada Islam, tanpa peranan para Shahabat!”
JURUS 4: “SEPUTAR IMAM SYI’AH”
Tanyakan kepada orang Syi’ah:
“Apakah Anda meyakini adanya imam dalam agama?” Dia pasti akan
menjawab: “Ya! Bahkan imamah menjadi salah satu rukun keimanan kami.”
Lalu tanyakan lagi: “Siapa saja imam-imam yang Anda yakini sebagai
panutan dalam agama?” Maka mereka akan menyebutkan nama-nama 12 imam
Syi’ah. Ada juga yang menyebut 7 nama imam (versi Ja’fariyyah).
Lalu tanyakan
kepada orang Syi’ah itu: “Mengapa dari ke-12 imam Syi’ah itu tidak
tercantum nama Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali?
Mengapa nama empat imam itu tidak masuk dalam deretan 12 imam Syi’ah?
Apakah orang Syi’ah meragukan keilmuan empat imam mazhab tersebut?
Apakah ilmu dan ketakwaan empat imam mazhab tidak sepadan dengan 12 imam
Syi’ah?”
Mengapa dari ke-12 imam Syi’ah itu tidak tercantum nama Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali?…
Faktanya,
kaum Syi’ah tidak mengakui empat imam madzhab sebagai bagian dari
imam-imam mereka. Kaum Syi’ah memiliki silsilah keimaman sendiri.
Terkenal dengan sebutan “Imam 12” atau Imamah Itsna Asyari. Hal ini
merupakan bukti besar, bahwa Syi’ah bukan Ahlus Sunnah. Semua Ahlus
Sunnah di muka bumi sudah sepakat tentang keimaman empat Imam tersebut.
Para ahli ilmu sudah mafhum, jika disebut Al Imam Al Arba’ah, maka yang
dimaksud adalah empat imam mazhab rahimahumullah.
JURUS 5: “ALLAH DAN IMAM SYI’AH”
Tanyakan kepada orang Syi’ah:
“Siapa yang lebih Anda taati, Allah Ta’ala atau imam Syi’ah?” Tentu dia
akan menjawab: “Jelas kami lebih taat kepada Allah.” Lalu tanyakan
lagi: “Mengapa Anda lebih taat kepada Allah?” Mungkin dia akan menjawab:
“Allah adalah Tuhan kita, juga Tuhan imam-imam kita. Maka sudah
sepantasnya kita mengabdi kepada Allah yang telah menciptakan imam-imam
itu.”
Sikap ideologis
kaum Syi’ah lebih dekat kemusyrikan karena lebih mengutamakan pendapat
imam-imam Syi’ah daripada ayat-ayat Allah…
Kemudian
tanyakan ke orang itu: “Mengapa dalam kehidupan orang Syi’ah, dalam
kitab-kitab Syi’ah, dalam pengajian-pengajian Syi’ah; mengapa Anda lebih
sering mengutip pendapat imam-imam daripada pendapat Allah (dari Al
Qur’an)? Mengapa orang Syi’ah jarang mengutip dalil-dalil dari Kitab
Allah? Mengapa orang Syi’ah lebih mengutamakan perkataan imam melebihi
Al Qur’an?”
Faktanya,
sikap ideologis kaum Syi’ah lebih dekat ke kemusyrikan, karena mereka
lebih mengutamakan pendapat manusia (imam-imam Syi’ah) daripada
ayat-ayat Allah. Padahal dalam Surat An Nisaa’ ayat 59 disebutkan, jika
terjadi satu saja perselisihan, kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sikap Islami, bukan melebihkan pendapat imam di atas perkataan
Allah.
JURUS 6: “ALI DAN JABATAN KHALIFAH”
Tanyakan kepada orang Syi’ah:
“Menurut Anda, siapa yang lebih berhak mewarisi jabatan Khalifah
setelah Rasulullah wafat?” Dia pasti akan menjawab: “Ali bin Abi Thalib
lebih berhak menjadi Khalifah.” Lalu tanyakan lagi: “Mengapa bukan Abu
Bakar, Umar, dan Ustman?” Maka kemungkinan dia akan menjawab lagi:
“Menurut riwayat saat peristiwa Ghadir Khum, Rasulullah mengatakan bahwa
Ali adalah pewaris sah Kekhalifahan.”
Mengapa ketika
sudah menjadi Khalifah, Ali tidak pernah menghujat Khalifah Abu Bakar,
Umar, dan Utsman, padahal dia memiliki kekuasaan?…
Kemudian katakan
kepada orang Syi’ah itu: “Jika memang Ali bin Abi Thalib paling berhak
atas jabatan Khalifah, mengapa selama hidupnya beliau tidak pernah
menggugat kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan Khalifah
Utsman? Mengapa beliau tidak pernah menggalang kekuatan untuk merebut
jabatan Khalifah? Mengapa ketika sudah menjadi Khalifah, Ali tidak
pernah menghujat Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman, padahal dia
memiliki kekuasaan? Kalau menggugat jabatan Khalifah merupakan
kebenaran, tentu Ali bin Abi Thalib akan menjadi orang pertama yang
melakukan hal itu.”
Faktanya,
sosok Husein bin Ali Radhiyallahu ‘Anhuma berani menggugat kepemimpinan
Dinasti Umayyah di masa Yazid bin Muawiyah, sehingga kemudian terjadi
Peristiwa Karbala. Kalau putra Ali berani memperjuangkan apa yang
diyakininya benar, tentu Ali radhiyallahu ‘anhu lebih berani melakukan
hal itu.
JURUS 7: “ALI DAN HUSEIN”
Tanyakan ke orang Syi’ah:
“Menurut Anda, mana yang lebih utama, Ali atau Husein?” Maka dia akan
menjawab: “Tentu saja Ali bin Abi Thalib lebih utama. Ali adalah ayah
Husein, dia lebih dulu masuk Islam, terlibat dalam banyak perang di
zaman Nabi, juga pernah menjadi Khalifah yang memimpin Ummat Islam.”
Atau bisa saja, ada pendapat di kalangan Syi’ah bahwa kedudukan Ali sama
tingginya dengan Husein.
Kemudian
tanyakan ke dia: “Jika Ali memang dianggap lebih mulia, mengapa kaum
Syi’ah membuat peringatan khusus untuk mengenang kematian Husein saat
Hari Asyura pada setiap tanggal 10 Muharram? Mengapa mereka tidak
membuat peringatan yang lebih megah untuk memperingati kematian Ali bin
Abi Thalib? Bukankah Ali juga mati syahid di tangan manusia durjana?
Bahkan beliau wafat saat mengemban tugas sebagai Khalifah.”
Faktanya,
peringatan Hari Asyura sudah seperti “Idul Fithri” bagi kaum Syi’ah.
Hal itu untuk memperingati kematian Husein bin Ali. Kalau orang Syi’ah
konsisten, seharusnya mereka memperingati kematian Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu lebih dahsyat lagi.
Kalau orang Syi’ah konsisten, seharusnya mereka memperingati kematian Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu lebih dahsyat lagi…
JURUS 8: “SYI’AH DAN WANITA”
Tanyakan ke orang Syi’ah:
“Apakah dalam keyakinan Syi’ah diajarkan untuk memuliakan wanita?” Dia
akan menjawab tanpa keraguan: “Tentu saja. Kami diajari memuliakan
wanita, menghormati mereka, dan tidak menzalimi hak-hak mereka?” Lalu
tanyakan lagi: “Benarkah ajaran Syi’ah memberi tempat terhormat bagi
kaum wanita Muslimah?” Orang itu pasti akan menegaskan kembali.
Kemudian katakan
ke orang Syi’ah itu: “Jika Syi’ah memuliakan wanita, mengapa mereka
menghalalkan nikah mut’ah? Bukankah nikah mut’ah itu sangat menzalimi
hak-hak wanita? Dalam nikah mut’ah, seorang wanita hanya dipandang
sebagai pemuas seks belaka. Dia tidak diberi hak-hak nafkah secara baik.
Dia tidak memiliki hak mewarisi harta suami. Bahkan kalau wanita itu
hamil, dia tidak bisa menggugat suaminya jika ikatan kontraknya sudah
habis. Posisi wanita dalam ajaran Syi’ah, lebih buruk dari posisi hewan
ternak. Hewan ternak yang hamil dipelihara baik-baik oleh para peternak.
Sedangkan wanita Syi’ah yang hamil setelah nikah mut’ah, disuruh
memikul resiko sendiri.”
Kaum Syi’ah tidak memberi tempat terhormat bagi kaum wanita. Praktik nikah mut’ah marak sebagai ganti seks bebas dan pelacuran…
Faktanya,
kaum Syi’ah sama sekali tidak memberi tempat terhormat bagi kaum
wanita. Hal ini berbeda sekali dengan ajaran Sunni. Di negara-negara
seperti Iran, Irak, Libanon, dll, praktik nikah mut’ah marak sebagai
ganti seks bebas dan pelacuran. Padahal esensinya sama, yaitu menghamba
seks, menindas kaum wanita, dan menyebarkan pintu-pintu kekejian. Semua
itu dilakukan atas nama agama. Na’udzubillah wa na’udzubillah min
dzalik.
JURUS 9: “SYI’AH DAN POLITIK”
Tanyakan ke
orang Syi’ah: “Dalam pandangan Anda, mana yang lebih utama, agama atau
politik?” Tentu dia akan berkata: “Agama yang lebih penting. Politik
hanya bagian dari agama.” Lalu tanyakan lagi: “Bagaimana kalau politik
akhirnya mendominasi ajaran agama?” Mungkin dia akan menjawab: “Ya tidak
bisa. Agama harus mendominasi politik, bukan politik mendominasi
agama.”
Lalu katakan ke
orang Syi’ah itu: “Kalau perkataan Anda benar, mengapa dalam ajaran
Syi’ah tidak pernah sedikit pun melepaskan diri dari masalah hak
Kekhalifahan Ali, tragedi yang menimpa Husein di Karbala, dan kebencian
mutlak kepada Muawiyah dan anak-cucunya? Mengapa hal-hal itu sangat
mendominasi akal orang Syi’ah, melebihi pentingnya urusan akidah,
ibadah, fiqih, muamalah, akhlak, tazkiyatun nafs, ilmu, dll. yang
merupakan pokok-pokok ajaran agama? Mengapa ajaran Syi’ah menjadikan
masalah dendam politik sebagai menu utama akidah mereka melebihi
keyakinan kepada Sifat-Sifat Allah?”
Ajaran Syi’ah
terjadi ketika agama dicaplok (dianeksasi) oleh pemikiran-pemikiran
politik. Akidah Syi’ah mirip dengan konsep Holocaust Zionis
internasional…
Faktanya,
ajaran Syi’ah merupakan contoh telanjang ketika agama dicaplok
(dianeksasi) oleh pemikiran-pemikiran politik. Bahkan substansi
politiknya terfokus pada sikap kebencian mutlak kepada pihak-pihak
tertentu yang dianggap merampas hak-hak imam Syi’ah. Dalam hal ini
akidah Syi’ah mirip sekali dengan konsep Holocaust yang dikembangkan
Zionis internasional, dalam rangka memusuhi Nazi sampai ke akar-akarnya.
(Bukan berarti pro Nazi, tetapi disana ada sisi-sisi kesamaan
pemikiran).
JURUS 10: “SYI’AH DAN SUNNI”
Tanyakan kepada orang Syi’ah:
“Mengapa kaum Syi’ah sangat memusuhi kaum Sunni? Mengapa kebencian kaum
Syi’ah kepada Sunni, melebihi kebencian mereka kepada orang kafir (non
Muslim)?” Dia tentu akan menjawab: “Tidak, tidak. Kami bersaudara dengan
orang Sunni. Kami mencintai mereka dalam rangka Ukhuwah Islamiyah. Kita
semua bersaudara, karena kita sama-sama mengerjakan Shalat menghadap
Kiblat di Makkah. Kita ini sama-sama Ahlul Qiblat.”
Kemudian katakan
ke dia: “Kalau Syi’ah benar-benar mau ukhuwah, mau bersaudara, mau
bersatu dengan Sunni; mengapa mereka menyerang tokoh-tokoh panutan Ahlus
Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman,
istri-istri Nabi (khususnya Aisyah dan Hafshah), Abu Hurairah, Zubair,
Thalhah, dan lain-lain? Mencela, memaki, menghina, atau mengutuk
tokoh-tokoh itu sama saja dengan memusuhi kaum Sunni. Tidak pernah ada
ukhuwah atau perdamaian antara Sunni dan Syi’ah, sebelum Syi’ah berhenti
menista para Shahabat Nabi, selaku panutan kaum Sunni.”
Kalau Syi’ah
benar-benar mau bersaudara dengan Sunni, mengapa mereka menyerang tokoh
panutan Ahlus Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar,
Khalifah Utsman dan istri-istri Nabi?…
Fakta yang perlu disebut,
banyak terjadi pembunuhan, pengusiran, dan kezaliman terhadap kaum
Sunni di Iran, Irak, Suriah, Yaman, Libanon, Pakistan, Afghanistan, dll.
Hal itu menjadi bukti besar bahwa Syi’ah sangat memusuhi kaum Sunni.
Hingga anak-anak Muslim asal Palestina yang mengungsi di Irak, mereka
pun tidak luput dibunuhi kaum Syi’ah.
Demikianlah “10 Jurus Dasar Penangkal Kesesatan Syi’ah” yang bisa kita gunakan untuk mematahkan pemikiran-pemikiran kaum Syi’ah.
Insya Allah tulisan ini bisa dimanfaatkan untuk secara praktis
melindungi diri, keluarga, dan umat Islam dari propaganda-propaganda
Syi’ah. Wallahu a’lam bis-shawaab.
Rekomendasi: Bacalah buku “Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah” karya Prof Dr Ali Ahmad As-Salus, Penerbit Pustaka Al Kautsar, Jakarta.
Artikel: Abisyakir.Wordpress.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar