Laman

Rabu, 30 Oktober 2013

Biografi Singkat Sibawaih (Ulama Ahli Nahwu)

Nama                            :Amr Ibn Ustman Qanbar Abu Bisyr  (seorang budak dari Ibn Harits ibn               Ka’ab ibn Amr ibn ‘Ullah ibn Malik ibn Udad)
Posisi                            :Ulama’ NAHWU (tata bahasa arab)
Tempat lahir              :Daerah Baidha (sebuah desa di negeri Persia berdekatan dengan syairaz)
Tahun lahir               :148 H. / 765 M.
Anak                        :Baysar
Gelar                           :Sibawaihi ( dalam bahasa Persia yang artinya bau harum buah apel) Konon, menurut berita yang saya dapat, badan beliau mengeluarkan bau  yang bau harumnya seperti bau buah apel. Itulah kenapa beliau dijuluki “Sibawaih” .
Nama-nama guru    :syaikh Hammad ibn Salmah ibn Dinar (ahli hadits terkenal)  ,  Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi ( seorang yang sangat alim dalam bidang Nahu sekaligus pencipta ilmu A’ruud /ilmu timbangan syiir) ,  syaikh Yunus ibn Habib dan syaikh Isa ibn Umar, syaikh Abu al-Khattab al-Akhfasy, dll.

Sejarah Singkat Hidup Beliau:

Awal mula beliau menimba ilmu pengetahuan di daerah Syairaz, kemudian dengan semangat beliau dan keinginan yang sangat kuat untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang kebudayaan agama islam, maka beliau mendatangi negeri Bashrah, ketika itu umur beliau masih kecil.
Bertemulah Sibawaihi dengan para ahli fiqh, hadits di negeri Bashrah, dan melazimi menghadiri pengajian syaikh Hammad ibn Salmah ibn Dinar seorang ahli hadits yang sangat terkenal pada masa itu, akan tetapi karena lemahnya bacaan hadits Sibawaihi, oleh gurunya mengganti pelajaran menjadi ilmu Nahwu, dan beliau berkata” Seandainya aku seperti engkau, aku akan mencari ilmu sehingga orang-orang tidak bisa menyalahkan bacaanku”
Setelah itu Imam Sibawaihi mengambil ilmu Nahwu kepada syaikh Khalil, syaikh Yunus ibn Habib dan syaikh Isa ibn Umar dan masih banyak lagi. Sedangkan ilmu bahasa beliau mengambil kepada syaikh Abu al-Khattab al-Akhfasy

Situs Translate Bahasa Arab

Adapun situs-situs yang menyediakan program translate bahasa arab sebagai berikut :

1.     www.kamusarab.com
2.     translate.google.com
3.     kamus.javakedaton.com
4.     alqamus.moe.edu.my
5.     http://www.listenarabic.com/id/translate/

Kamis, 24 Oktober 2013

Link Bermanfaat

LINK PARA ULAMA
LINK ILMIAH (BAHASA ARAB)
LINK INDONESIA (BAHASA INDONESIA)
LINK ILMIAH (BAHASA INGGRIS)
MUSLIMAH (INDONESIA)
RADIO ONLINE & MULTIMEDIA
INFORMASI PENGAJIAN
SOAL JAWAB ISLAM
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
WEBLOG SAHABAT DAN PENUNTUT ILMU (INDONESIA)
WEBLOG SAHABAT DAN PENUNTUT ILMU (INGGRIS)

Selasa, 22 Oktober 2013

Ada Apa Dengan Tepuk Tangan ?

سؤال: ما حكم التصفيق للرجال في الندوات والمسابقات؟

Pertanyaan, “Apa hukum tepuk tangan untuk laki-laki di acara seminar dan berbagai pertandingan?

الجواب:
والتصفيق ثلاثة أقسام:
القسم الأول: أن يتخذ عبادة كما كان يفعل المشركون عند البيت، هذا حرام لا شك، قال الله تعالى: وَمَا كَانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً (٣٥)

Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah, “Tepuk tangan untuk laki-laki itu ada tiga kategori:

Pertama, tepuk tangan yang dijadikan sebagai ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik di dekat Ka’bah. Tepuk tangan jenis ini jelas hukumnya adalah haram. Allah berfirman yang artinya, “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan” (QS al Anfal:35).

القسم الثاني: أن يتخذ لهوا، كالذين يصفقون لهوا وطربا فهذا منهي عنه، إما نهي التحريم وإما نهي الكراهة.

Kedua, tepuk tangan yang dijadikan sebagai hiburan. Tepuk tangan jenis ini terlarang, boleh jadi hukumnya haram, minimal hukumnya adalah makruh.

القسم الثالث: أن يكون تشجيعا، يعني جرت العادة بأنه إذا صفق للإنسان ازداد نشاطا في ما هو فيه، فهذا لا بأس به، لأن الأصل فيما عدا العبادات ما هو؟ الحل والإباحة.

Ketiga, tepuk tangan yang dijadikan sebagai penyemangat. Artinya ada kebiasaan yang di masyarakat bahwa orang yang mendapat aplause akan semangat untuk melakukan apa yang sedang dia lakukan. Tepuk tangan jenis ini hukumnya adalah tidak mengapa karena hukum asal untuk perkara non ibadah adalah halal dan mubah.

وما أشد فرح الطالب إذا أجاب في فصله بالصواب ثم صفقوا له

Betapa gembiranya seorang siswa yang mendapatkan aplaus ketika memberikan jawaban yang benar dalam kelas.

أو- أقصد الطلبة في الابتدائي- أما أنتم ما شاء الله ما يهمكم هذا.

Yang aku maksudkan adalah siswa sekolah dasar. Sedangkan kalian para mahasiswa, tepuk tangan tidaklah penting bagi kalian

ما أشد فرحا وربما يطير من الماجة من الفرح، أفنمنع مثل هذا المثال للتشجيع بدون دليل؟

Betapa senangnya siswa tersebut. Boleh jadi dia akan meloncat-loncat karena perasaan gembira yang tidak karuan. Apakah hal semacam ini kita larang tanpa dalil?!

وأما قوله-صلى الله عليه و سلم-: التصفيق للنساء والتسبيح للرجال فهذا في الصلاة

Sedangkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tepuk tangan itu untuk perempuan sedangkan bacaan tasbih itu untuk laki-laki” [HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah], hadits ini berlaku dalam shalat (bukan dalam semua keadaan)”

[Fatwa ini beliau sampaikan pada sesi tanya jawab setelah berceramah di hadapan para mahasiswa Jamiah al Imam Ibnu Suud di Riyadh yang dilaksanakan di masjid universitas. Silahkan baca buku Washaya wa Taujihat li Thullabil Ilmi yang dikumpulkan oleh Prof Dr Sulaiman bin Abdullah bin Hamud Abu al Khoil, rektor Jamiah al Imam Ibnu Suud saat ini, hal 65, terbitan Dar Ibnul Haitsam Kairo, cet pertama 1426 H]. Catatan:

Dari tiga jenis tepuk yang dilakukan oleh laki-laki, tepuk pramuka lebih tepat dimasukkan dalam kategori yang kedua.

Sedangkan tepuk anak shalih dan tepuk-tepuk sejenis yang dikait-kaitkan dengan Islam termasuk dalam kategori kedua. Tidaklah boleh disandarkan kepada Islam kecuali yang menjadi bagian dari ajaran Islam, itulah semua yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, baik perintah yang menghasilkan hukum wajib ataupun hukum anjuran.
______________________________________________________________________________
 
Pertanyaan:
Bertepuk tangan dalam acara-acara tertentu atau dalam pesta-pesta, apakah boleh?

Syekh bin Baz menjawab,

Bertepuk tangan dalam pesta termasuk kebiasaan jahiliyah. Setidaknya menurut pendapat para ulama, hukumnya makruh. Namun, yang lebih tepat hukumnya adalah haram, karena kaum muslimin dilarang untuk meniru budaya orang-orang kafir. Allah menggambarkan orang-orang kafir Mekkah dalam firman-Nya:

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً وَ تَصْدِيْقَةً فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Qs. al-Anfal: 35)

Para ulama menjelaskan bahwa arti kata “muka`an” dalam ayat tersebut adalah bersiul, sementara arti kata “tashdiyah” adalah bertepuk tangan. Menurut ajaran as-Sunnah, bila seorang muslim melihat atau mendengar sesuatu yang mengagumkan atau yang tidak disukainya, hendaknya ia mengucapkan: “subhanallah” atau “Allahu akbar”, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits shahih.

Bertepuk tangan hanya diperbolehkan bagi kaum wanita dalam shalat, yakni bila mereka shalat bersama kaum lelaki, lalu imamnya lalai dan terlupa, maka mereka boleh memberikan peringatan dengan bertepuk tangan. Adapun bagi kaum lelaki, disunnahkan memberikan peringatan dengan membaca tasbih, seperti yang disebutkan dalam sunnah yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bertepuk tangan yang dilakukan kaum lelaki termasuk menyerupai orang-orang kafir atau wanita, keduanya adalah perbuatan terlarang. Hanya Allah yang dapat memberikan taufik.

Sumber: Fatawa Syekh Bin Baz Jilid 1, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Pustaka at-Tibyan.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)

Sifat Allah "As-sittiir"

dalam sebuah hadits disebutkan:
 
إِنَّ اللَّـهَ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُحِبُّ السِّتْرَ.

Sesungguhnya Allah Maha Malu lagi Maha menutupi dan suka menutupi (hamba-hamba-Nya). (Hadits shahih. Lihat Irwâ` al-Ghalîl, no. 2335)

Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullâh berkata: “As-Sittîr artinya Yang selalu Maha menutupi hamba-hamba-Nya, tidak mencemarkan keburukan mereka di khalayak ramai, Yang Maha mencintai mereka untuk selalu menutupi diri mereka masing-masing dari apa-apa yang dapat mencemarkan nama baik mereka, menghinakan mereka dan menjatuhkan harkat dan martabat mereka. Ini merupakan keutamaan dan rahmat dari Allah ….” (Fiqh al-Asmâ` al-Husnâ, karya beliau, hlm. 307, Cetakan Maktabah al-Malik Fahd), pen.

Senin, 21 Oktober 2013

Distorsi Ucapan Ibnu Taimiyah Tentang Maulidan

Kalimat yang dinukil sebagai alasan bahwa Ibnu Taimiyah membolehkan Maulid adalah sebagai berikut :

فتعظيم المولد ، واتخاذه موسمًا ، قد يفعله بعض الناس ، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده ، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah SAW..”

Mereka mengatakan ini terdapat didalam Kitab Iqtidha sirathal Mustaqim cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H hal 269

Terus terang saya kesulitan untuk mendapatkan cetakan Darul Fikr, Namun dalam cetakan Maktabah Ar-Rusyd tulisan tersebut terdapat dalam halaman 621 baris terakhir dan awal halaman 622 dengan teks yang sama.

Hal 621

Hal 622

Lebih lengkap saya postingkan kalimatnya:

فتعظيم المولد، واتخاذه موسمًا، قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم، كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس، ما يستقبح من المؤمن المسدد . ولهذا قيل للإمام أحمد عن بعض الأمراء : إنه أنفق على مصحف ألف دينار ، أو نحو ذلك فقال : دعهم ، فهذا أفضل ما أنفقوا فيه الذهب ، أو كما قال . مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة . … إنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة ، وفيه أيضًا مفسدة كره لأجلها . فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا ، وإلا اعتاضوا بفساد لا صلاح فيه ، مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور

Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah SAW, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya itu baik untuk sebagian orang tapi tidak baik untuk Mukmin yang lurus….
 
Oleh karena itu, dikatakan kepada imam Ahmad tentang beberapa Umara: Sesungguhnya umara tersebut telah menginfaqkan 1000 dinar untuk sebuah Mushaf. Maka beliau berkata:”biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka lakukan dengan emas”, Padahal mazhabnya memakruhkan menghias Mushaf-Mushaf…. Sesungguhnya Qasadnya pada amal ini adalah maslahah, dan sekalipun padanya ada mafsadah yang dibenci.
 
Jika mereka tidak melakukan itu, maka mereka akan melakukan keburukan lain yang tidak ada kebaikan padanya, seperti menginfakkannya untuk kitab-kitab tak bermoral”.
Ikhwah sekalian
 
perhatikan dengan jelas kalimat yang saya cetak tebal sebagai nukilan yang tidak ditampilkan oleh orang yang ingin mengambil keuntungan dari tulisan Ibnu Taimiyah.

Kalau kita perhatikan huruf lam yang menyertai lafaz Husni adalah lam ta’lil, jadi pahala itu didapat karena tujuan (Qasad) dan pengagungannya saja, karena inilah illatnya. Ini jelas, karena tujuan baik dan pengagungan merupakan subtansi Ibadah yang manusia akan diberi pahala jika melakukannya.
 
Kemudian Syaikhul Islam menegaskan Bahwa itu berlaku untuk orang tertentu, tidak untuk orang Mukmin yang musaddad yang tentunya mereka mengetahui dalil-dalil syariat.

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah juga membawakan Riwayat tentang orang yang bertanya kepada Imam Ahmad tentang penguasa muslim yang berlebihan dengan menginfaqkan harta sebesar 1000 dinar hanya untuk menghias qur’an.
 
Ini jelas perbuatan yang buruk, namun Imam Ahmad menilai Qasadnya baik dan itulah amalan terbaik dengan emas yang bisa ia lakukan, karena kalau dilarang, niscaya ia akan mengalihkan kepada amalan yang buruk secara Mutlak.

Dalam kitab yang sama halaman 732 ibnu Taimiyah Juga Mengatakan :


من كانت له نية صالحة أثيب على نيته وإن كان الفعل الذي فعله ليس بمشروع إذا لم يتعمد مخالفة الشرع

“Barangsiapa memiliki niat yang soleh, maka ia akan diberi pahala, sekalipun perbuatan yang dilakukannya tidak syar’i, jika ia tidak sengaja menyalahi Syariat”.

Dalam halaman 619 disebutkan

قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع

“Terkadang mereka diberi pahala karena kecintaan dan ijtihadnya bukan atas bid’ahnya”

Dalam halaman yang sama Ibnu Taimiyah kembali menegaskan

وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرَّاصاً على أمثال هذه البدع-مع ما لهم فيها من حُسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم بهما المثوبة – تجدهم فاترين في أمر الرسول صلى الله عليه وسلم عما أُمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ،أو يصلي فيه قليلاً ،وبمنزلة من يتخذ المسابيح والسجادات المزخرفة، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تُشرع ،ويصحبها من الرياء والكِبْر ،والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها

“Adapun kebanyakan orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Mereka adalah seperti kedudukan orang-orang yang memperindah masjid, tetapi tidak shalat di dalamnya, atau hanya melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan minim, atau menjadikan tasbih dan sajadah hanya sebagai hiasan yang tidak disyari’atkan. Tujuannya adalah untuk riya’ dan kesombongan serta sibuk dengan syari’at-syari’at yang dapat merusak keadaan pelakunya”.

Jadi jelas Pahala yang didapat adalah pahala Ijtihad dan pahala cinta, bukan pahala melakukan maulid yang merupakan bid’ah

Adapun Merayakan Maulid, sebenarnya telah divonis bid’ah yang buruk Oleh Ibnu Taimiyah dalam Kitab yang sama Halaman 619


وكذلك ما يحدثه بعض الناس: إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى-عليه السلام-،وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم، والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع – من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيداً مع اختلاف الناس في مولده ، فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف – رضي الله عنهم- أحق به منا ،فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص،وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته،وطاعته واتباع أمره، وإحياء سنته باطناً وظاهراً ، ونشر ما بعث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان ، فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار،والذين اتبعوهم بإحسان،وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرَّاصاً على أمثال هذه البدع-مع ما لهم فيها من حُسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم بهما المثوبة – تجدهم فاترين في أمر الرسول صلى الله عليه وسلم عما أُمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ،أو يصلي فيه قليلاً ،وبمنزلة من يتخذ المسابيح والسجادات المزخرفة، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تُشرع ،ويصحبها من الرياء والكِبْر ،والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها

“Begitu pula yang diadakan oleh sebagian manusia, baik yang tujuannya untuk menghormati orang-orang Nashrani atas kelahiran ‘Isa ataupun karena mencintai Nabi. Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah, tetapi bukan atas bid’ah – seperti menjadikan kelahiran Nabi sebagai hari raya tertentu – padahal manusia telah berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan seperti ini belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada tuntutan untuk melakukannya dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu baik atau membawa faedah, tentu para salaf lebih dulu melakukannya daripada kita karena mereka adalah orang-orang yang jauh lebih cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengagungkannya. Mereka lebih tamak kepada kebaikan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan cara mengikutinya, mentaatinya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya – baik secara lahir maupun batin – menyebarkan apa yang diwahyukan kepadanya, dan berjihad di dalamnya dengan hati, kekuatan, tangan, dan lisan. Itulah cara yang digunakan oleh para salaf, baik dari golongan Muhajirin, Anshar, maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dalam mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kebanyakan orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Mereka adalah seperti kedudukan orang-orang yang memperindah masjid, tetapi tidak shalat di dalamnya, atau hanya melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan minim, atau menjadikan tasbih dan sajadah hanya sebagai hiasan yang tidak disyari’atkan. Tujuannya adalah untuk riya’ dan kesombongan serta sibuk dengan syari’at-syari’at yang dapat merusak keadaan pelakunya”.

Mari Saya perjelas

فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف - رضي الله عنهم- أحق به منا ،فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص

Coba anda perhatikan, lafadz خيرا merupakan khobar كان sedangkan isimnya Mustatir (disembunyikan), namun sangat jelas sekali bahwa isim كان dalam hal ini adalah هو yang kembali kepada هذا yang dimaksud adalah Maulid.
 
Jadi mafhum dari lafadz لو كان خيرا adalah buruknya perayaan Maulid, maka tidak dilakukan oleh Salafussholeh padahal kalau itu baik, maka niscaya mereka adalah yang paling dahulu melakukannya.

Kalau masih tidak percaya, mari kita menukil pendapat Ibnu Taimiyah yang lebih tegas


وأما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول ، التي يقال إنها المولد ، أو بعض ليالي رجب ، أو ثامن عشر ذي الحجة ، أو أول جمعة من رجب ، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال عيد الأبرار ، فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف ، ولم يفعلوها ، والله سبحانه وتعالى أعلم

“Adapun menjadikan upacara peribadahan selain yang disyari’atkan, seperti sebagian malam Rabi’ul-Awwal yang sering disebut Maulid (Nabi), atau sebagian malam Rajab, atau tanggal 18 Dzulhijjah , atau Jum’at pertama bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul-Abraar; semuanya termasuk bid’ah yang tidak disunnahkan salaf dan tidak mereka kerjakan. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam” [Majmu’ Al-Fataawaa, 25/298].

dari:  http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/02/16/distorsi-pendapat-ibnu-taimiyah-tentang-maulid-nabi/

Minggu, 20 Oktober 2013

Berkenalan Dengan "Bid'ah"

[Definisi Secara Bahasa]

Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)

Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman-Nya,

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)

[Definisi Secara Istilah]

Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).

Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah:

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ

Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)

Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,

وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ

“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)

Kesimpulan:
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)

Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi.

Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir.

Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri)
 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh http://rumaysho.com