Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal
Masalah 1: Berapa Jarak yang Sudah Dikatakan Bersafar?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan
mengqoshor shalat adalah 48 mil (85 km). Sebagian lainnya berpendapat
bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah
apabila menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dengan menggunakan
unta.
Namun pendapat yang tepat dalam masalah ini, tidak ada batasan
tertentu untuk jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat.
Seseorang boleh mengqoshor shalat selama jarak tersebut sudah dikatakan
safar, entah jarak tersebut dekat atau pun jauh (meskipun hanya 60 km).
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak
memberikan batasan dalam hal ini. Begitu pula secara bahasa, tidak
disebutkan pula batasannya. Sehingga yang dijadikan patokan adalah ‘urf
atau kebiasaan masyarakat setempat. Jika di masyarakat menganggap bahwa
perjalanan dari kota A ke kota B sudah disebut safar, maka boleh di
sana seseorang mengqoshor shalat dan boleh baginya mengambil keringanan
safar lainnya. Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika butuh
perbekalan ketika melakukan perjalanan. Inilah pendapat yang dianut oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama Zhohiriyah.[1]
Masalah 2: Kapan Waktu Dibolehkan Mengqoshor Shalat?
Para ulama sepakat, musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia
berpisah dari negerinya. Namun bolehkah ketika sudah berniat safar dan
masih di rumah atau di negerinya, ia sudah mengqoshor shalat?
Jawabannya, tidak boleh. Ia masih harus menunaikan shalat secara
sempurna (tanpa mengqoshor). Ketika ia sudah berpisah dari negerinya,
baru ia mulai boleh mengqoshor shalat. Demikianlah pendapat yang lebih
tepat. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik, ia berkata,
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
“Aku pernah shalat Zhuhur bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah (masih belum bersafar,
pen) sebanyak empat raka’at. Dan ketika di Dzulhulaifah, dikerjakan
sebanyak dua raka’at.”[2]
Masalah 3: Lama Waktu Seseorang Boleh Mengqoshor Shalat
Seorang musafir boleh mengqoshor shalat selama dia berada di
perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di negeri yang dia tuju dan
tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan
mengqoshor shalat?
Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para
ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim
lebih dari 4 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ulama lainnya
mengatakan bahwa jika berniat mukim 15 hari, maka tidak boleh mengqoshor
shalat. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa selama 20 hari boleh
mengqoshor shalat, namun jika lebih dari itu tidak diperbolehkan lagi.
Ada pula pendapat lainnya sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus
selama dia berniat untuk tidak menetap, walaupun itu lebih dari 4, 15
atau 20 hari. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Jadi, safar
sebenarnya tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqoshor shalat selama 18, 19, atau 20 hari, itu semua dilakukan karena beliau adalah seorang musafir.
Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal
permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan
menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi semacam ini sudah disebut
mukim dan tidaklah disebut musafir.[3]
Masalah 4: Apakah Bersafar Mesti Menjamak Shalat?
Asalnya, boleh saja bagi musafir untuk menjamak shalat Zhuhur dan
Ashar, atau Maghrib dan Isya’. Sebagaimana diterangkan dalam hadits
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى السَّفَرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika safar”[4]
Namun mestikah setiap bersafar harus dilakukan jamak qoshor
(menggabung antara jamak dan qoshor) atau cukup qoshor saja? Sebagaimana
yang telah diketahui bahwa yang diwajibkan pada musafir adalah
mengqoshor shalat.
Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam. Ada musafir saa-ir yaitu yang berada dalam perjalanan dan ada musafir naazil yaitu
musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di
suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.
Menjama’ shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ boleh dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil. Namun yang paling afdhol (paling utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat. Musafir naazil diperbolehkan
untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan
shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga
harus menjamak. Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol
baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabung
dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di
waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya.[5]
Masalah 5: Tetap Shalat Berjama’ah Ketika Bersafar
Perlu diketahui, menurut pendapat yang paling kuat di antara para
ulama, hukum shalat jama’ah adalah wajib bagi kaum pria. Imam Asy
Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[6]
Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Apabila musafir
berada di perjalanan, maka tidak mengapa dia shalat sendirian. Adapun
jika telah sampai negeri tujuan, maka janganlah dia shalat sendiri. Akan
tetapi hendaknya dia shalat secara berjama’ah bersama jama’ah di negeri
tersebut, kemudian dia menyempurnakan raka’atnya (tidak mengqoshor).
Adapun jika dia melakukan perjalanan sendirian dan telah masuk waktu
shalat, maka tidak mengapa dia shalat sendirian ketika itu dan dia
mengqoshor shalat yang empat raka’at (seperti shalat Zhuhur) menjadi dua
raka’at.”[7]
Masalah 6: Bermakmum di Belakang Imam Mukim
Ketika seorang musafir bermakmum di belakang imam mukim (tidak
bersafar atau menetap), maka dia tidak mengqoshor shalatnya. Namun dia
harus mengikuti imam yaitu mengerjakan shalat dengan sempurna (tanpa
diqoshor).
Dari Musa bin Salamah, beliau mengatakan,
كُنَّا
مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ
صَلَّيْنَا أَرْبَعاً وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا
رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِى الْقَاسِمِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Kami pernah bersama Ibnu
‘Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, “Mengapa jika kami (musafir)
shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka’at (tanpa diqoshor). Namun ketika kami bersafar,
kami melaksanakan shalat dua raka’at (dengan diqoshor)?” Ibnu ‘Abbas
pun menjawab, “Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[8]
Masalah 7: Shalat Di Atas Kendaraan Ketika Bersafar
Untuk melaksanakan shalat sunnah, boleh dilakukan di atas kendaraan
dan sangat baik jika awalnya menghadap kiblat walaupun setelah itu
arahnya berubah[9]. Namun untuk melaksanakan shalat fardhu, hendaknya turun dari kendaraan.
Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ
حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah
kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun
dari kendaraan dan menghadap kiblat.”[10]
Akan tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau
kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat
dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia boleh
melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua syarat,
- Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung mengerjakan shalat fardhu.
- Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan.
Jika memang kedua syarat ini terpenuhi, boleh seorang musafir melaksanakan shalat di atas kendaraan.[11]
Sehingga dari sini tidak alasan sekali seorang musafir tidak
melaksanakan shalat selama ia di perjalanan. Perkara meninggalkan shalat
bukan perkara sepele. Meninggalkanya termasuk dosa besar. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa
meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa
besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang
yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta
mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[12]
Demikian beberapa pembahasan kami
mengenai tips-tips safar dan mudik lebaran. Semoga Allah menjadi mudik
kita menjadi lebih berkah dengan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Direvisi ulang di Panggang, Gunung Kidul, 13 Ramadhan 1430 H (23 Agustus 2010)
Artikel www.rumaysho.com
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/479-481.
[2] HR. Bukhari no. 1089.
[3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/482-487
[4] HR. Bukhari no. 1108.
[5] Lihat Fatawa Al Islam Su-al wa Jawaab no. 49885 pada link http://islamqa.com/ar/ref/49885 , di dalamnya terdapat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin yang sangat bermanfaat.
[6] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir, hal. 107
[7] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’, 12/243.
[8] HR. Ahmad 1/216. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[9] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/306
[10] HR. Bukhari no. 400
[11] Lihat pembahasan shalat di mobil dan pesawat di Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 21869 pada link http://www.islamqa.com/ar/ref/21869
[12] Ash Sholah, hal. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar