Fidyah di Dalam Puasa
(Oleh: Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro)
Allâh Ta'ala telah menurunkan kewajiban
puasa kepada Nabi-Nya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa
pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan).
Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak
berkehendak, maka dia boleh tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar
fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman
yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian
orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun
sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar
fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.
Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam
tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah
tersebut. Semoga Allâh Ta'ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk
ilmu yang bermanfa’at, serta amal shalih yang Dia ridhai.
A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah ( فدية ) atau fidaa ( فدى ) atau fida‘ ( فداء
) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan
kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya.[1]
Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah,
dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan. Adapun
fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan
kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia
meninggalkan puasa.
B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allâh Ta'ala telah menyebutkan tentang fidyah dalam Kitab-Nya Yang Mulia.
Allâh Ta'ala berfirman:
Maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian (di bulan Ramadhan),
wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya),
untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin.
Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain)
maka itu lebih baik baginya,
dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.
(QS Al Baqarah : 184)
wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya),
untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin.
Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain)
maka itu lebih baik baginya,
dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.
(QS Al Baqarah : 184)
Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allâh Ta'ala :
"Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya),
maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin"
maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin"
Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini
merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa
telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan
kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun
dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari
dan Muslim dari Salamah bin Akwa‘ radhiyallâhu'anhu, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allâh Ta'ala:
"Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan,
maka hendaklah dia berpuasa."
(Al Baqarah ayat 185)
maka hendaklah dia berpuasa."
(Al Baqarah ayat 185)
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli
ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah,
khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka
tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini
sesuai dengan bacaan tasydid, yakni artinya, bagi orang yang merasa
berat untuk mengerjakannya.[2]
Dari ‘Atha radhiyallâhu'anhu, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu membaca ayat:
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu berkata:
“Ayat ini tidaklah
dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang
keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu
hari kepada satu orang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir).[3]
Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa’di rahimahullâh di dalam tafsirnya:
“Dan ada pendapat
yang lain, bahwa ayat tersebut maksudnya mereka yang merasa terbebani
dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu
mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah
untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini
adalah pendapat yang benar”. [4]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Penafsiran Ibnu
Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara
pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allâh Ta'ala menjadikan fidyah
sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika
dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar
fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap
orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa,
yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah”. [5]
C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1. |
Orang yang tua (jompo) laki-laki dan
wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk
berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada
satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah,
Anas, Sa’id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Auza’i. [6]
|
2. |
Orang sakit yang tidak diharapkan
kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas,
seperti kanker dan yang semisalnya.
|
Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.
Masalah : Apabila orang
sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah
kemudian Allâh Ta'ala menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia
lakukan?
Jawab : Tidak wajib
baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban
baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah
melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya,
sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa. [7]
Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :
1. Wanita hamil dan wanita yang menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang
menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa,
pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula
wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya
sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.
Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk
mengqadha‘ dan membayar fidyah? Dalam permasalahan ini, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.
Pendapat pertama, wajib
bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun
terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan
dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha‘ tanpa membayar
fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia
wajib untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah.
Dalil dari pendapat ini ialah surat
Al-Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit, bahwasanya
mereka diperintahkan untuk mengqadha‘ puasa ketika mereka mampu pada
hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah
perkataan Ibnu Abbas:
Wanita menyusui dan wanita hamil,
jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan.
(HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18)
jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan.
(HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18)
Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu; dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullâh di dalam Irwa’.
Ibnu Qudamah berkata,
”Apabila keduanya
khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk
mengqadha‘. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di
antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan
dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka
dan wajib untuk mengqadha‘ dan memberi makan kepada seorang miskin untuk
setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan yang mashur
dari madzhab Syafi’i.” [8]
Pendapat kedua, tidak wajib bagi mereka
untuk mengqadha’, akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah
pendapat Ishaq bin Rahawaih.
Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas radhiyallâhu'anhu:
Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui.
(HR Al-Khamsah)
(HR Al-Khamsah)
Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu tidak menyebutkan untuk mengqadha’, namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.*)
Pendapat ketiga, wajib bagi mereka untuk mengqadha’
saja. Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan
seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak
menyebutkan untuk mengqadha’, karena hal itu sudah maklum, sehingga
tidak perlu untuk disebutkan.
Adapun hadits :
“Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”,
maka yang dimaksud ialah, bahwa Allâh
Ta'ala menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi
mereka untuk mengqadha’. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah.
Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i. Keduanya
berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap
dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha’ (dikeluarkan
oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).
Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh, pendapat inilah yang paling kuat.[9] Beliau (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh)
mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir
terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka,
berdasarkan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
Sesungguhnya Allâh telah menggugurkan dari musafir setengah shalat,
dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa.
(HR Al-Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih)
dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa.
(HR Al-Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih)
Akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha’ dari hari
yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa
takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10]
Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash fatwa tersebut dibawah ini.
Pertanyaan yang ditujukan kepada Lajnah Daimah.
Soal :
Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha’? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha’, tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha’? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?
Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha’? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha’, tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha’? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?
Jawab :
Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa.
Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa.
Allâh Ta'ala berfirman:
Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan,
maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain.
maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain.
Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika
khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan,
atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak
mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk
mengqadha’ saja. Dan semoga Allâh Ta'ala memberikan taufiq.[11]
2. | Orang yang mempunyai kewajiban untuk mengqadha’ puasa, akan tetapi dia tidak mengerjakannya tanpa udzur hingga Ramadhan berikutnya" |
Pendapat yang pertama, wajib baginya untuk mengqadha’ dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi’i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha’ puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).
Dalil dari pendapat ini adalah: Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkan
untuk memberi makan dan mengqadha’ bagi orang yang mengakhirkan hingga
Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi,
hadits ini dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu
meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha’ hingga datang
Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red)
memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12]
Pendapat kedua, tidak wajib baginya
membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam
mengqadha’ puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan
pendapat Al-Hasan dan Ibrahim An-Nakha’i. Karena hal itu merupakan puasa
wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda
berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan
sekarang atau menunda nadzarnya.[13]
Berkata Imam Asy Syaukani:
“Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)”.[14]
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin:
“Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu,
mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib
untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini
(ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia
berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha` “. [15]
Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan
tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan meng-qadha’ hingga
Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian,
atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar
fidyah.
Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama. Jika penyakitnya termasuk
yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa
hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati,
maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah
mengqadha’, kemudian mati sebelum mengerjakannya.
Kedua. Jika penyakitnya termasuk
yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia
terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha’nya,
maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia
tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu
untuk mengqadha’, tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka
dibayarkan untuknya fidyah.
Ketiga. Jika penyakitnya termasuk
yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk
membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [16]
D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH
Tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur‘an atau
As-Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu
yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada ‘urf
(kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar
fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik
berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka
bahan makanan sehingga mereka memilikinya.
Pendapat ulama tentang kadar dan jenis fidyah.
Berkata Imam An Nawawi:
“(Pendapat pertama),
kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya,
seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman
ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang
paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada”.
Imam An Nawawi juga berkata:
“Tidak sah apabila
membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau
biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah
dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah)
dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Fidyah tersebut
dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah
dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari
satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja”. [17]
Ukuran Satu Mud
Satu mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’ nabawi, yaitu sha’-nya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Satu sha’ nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram.[18]
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’
nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu
sha’ nabawi sama dengan 3000 gram.[19]
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita
bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510
hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji
gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha’ (dua
mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di
dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada
orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.
E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.
Pertama. Memasak atau membuat
makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang
dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin
Malik ketika beliau tua.
Disebutkan dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu,
bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun.
Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian
beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan
hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil).
Kedua. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata:
“Dengan satu mud dari
burr (biji gandum), atau setengah sha’ dari selainnya. Akan tetapi,
sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging,
atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allâh
Ta'ala yang telah disebutkan”.
6. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika
dia mau, maka membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga.
Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari
bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas radhiyallâhu'anhu
ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum
Ramadhan, karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan
Sya’ban. Wallahu Ta’ala A’lam.
Maraji‘:
1. |
Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
|
2. |
Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402H.
|
3. |
Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
|
4. |
Asy Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam, Riyadh, Tahun 1416H.
|
5. |
Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419 H.
|
6. |
Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
|
7. |
Irwa’ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al Islami, Tahun1405 H.
|
8. |
Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma’rifah, Beirut.
|
9. |
Fatawa Islamiyah, Jama’: Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab lainnya.
|
http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar