Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf Assidawi
Definisi Demonstrasi
Dalam sebuah kamus bahasa Indonesia, demonstrasi diartikan sebagai
pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik setuju atau tidak setuju
akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji,
poster, dan sebagainya yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan
demonstrasi tersebut.[1]
Jadi, demonstrasi adalah suatu metode untuk mengungkapkan aspirasi
para demonstran terhadap negara atau atasan dengan menuntut terwujudnya
tuntutan mereka dari aksi tersebut.
Sejarah Demonstrasi
Bila kita telusuri sejarah, akan kita dapati bahwa demonstrasi bukan
berasal dari Islam. Demonstrasi tidak dikenal pada zaman Nabi n\ dan
para sahabat f\, tetapi dilakukan oleh orang Khowarij yang ingin
menggulingkan Utsman dan Ali bin Abi Tholib d\.
Kemudian seiring dengan bergolaknya revolusi Prancis, demonstrasi
dihidupkan oleh orang-orang kafir Prancis bersama dengan induknya yang
bernama demokrasi. Oleh karena itu, negara Prancis secara resmi
memasukkan demokrasi dalam undang-undang mereka dengan label Hak Asasi
Manusia (HAM) pada tahun 1791. Disebutkan dalam pasal tiga, “Rakyat
adalah sumber kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur
hukum, hukum dan hak diambil dari mereka.” Ini adalah penegasan bahwa
kekuasaan adalah milik rakyat yang tidak dapat dipenggal-penggal lagi
serta tanpa kompromi dan tidak akan dapat diubah-ubah.
Kemudian tatkala Prancis menjajah dunia, di antaranya adalah
negara-negara Arab seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan
negara-negara muslim lainnya, maka secara bersamaan masuklah sistem
demokrasi tersebut ke negeri-negeri jajahan.[2]
Hukum Demonstrasi dan Argumentasinya
Demonstrasi merupakan masalah kontemporer yang belum dikenal pada
zaman Nabi n\, namun hal itu bukan berarti ia tidak memiliki hukum dalam
kacamata syari’at, sebab agama Islam merupakan agama yang sempurna dan
mampu menjawab segala permasalahan dengan dalil-dalil umum dan
kaidah-kaidah fiqih yang telah dijelaskan para ulama. Alangkah bagusnya
ucapan al-Imam asy-Syafi’i v\ tatkala mengatakan, “Tidak ada suatu
masalah baru apa pun yang menimpa seorang berpengetahuan agama kecuali
dalam al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya.” [3]
Tidak diragukan lagi bagi seorang yang mau menimbang suatu hukum
berdasarkan cahaya al-Qur’an dan Sunnah serta kaidah-kaidah fiqhiyyah
bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh, berdasarkan beberapa argumen
sebagai berikut:
1. Demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama
Oleh para pembelanya, demonstrasi dianggap sebagai salah satu sarana
dakwah dan bagian dari ajaran Islam. Padahal, demonstrasi merupakan
perkara baru dalam agama dan tidak dikenal oleh Islam, serta tidak
pernah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi n\ yang mulia. Tidak
pernah Rosululloh n\ beserta para sahabatnya berdemonstrasi dengan
memasang spanduk, meneriakkan yel-yel dan sebagainya ke rumah Abu Jahal
atau lainnya, padahal faktor pendorong untuk melakukannya sudah ada pada
zaman beliau. Beliau dan para sahabatnya telah dizalimi dengan sangat
mengenaskan. Mereka disiksa, dibunuh, diboikot, dan sebagainya. Namun
demikian, beliau tidak menggunakan metode ini, maka hal itu menunjukkan
bahwa metode ini tidak membawa kebaikan sedikit pun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v\ memberikan sebuah kaidah penting tentang maslahat dan mafsadat, beliau berkata:
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ لِفِعْلِهِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِn مَوْجُوْدًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ, يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
“Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi n\, yang
tampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi n\, maka jelas
bahwa hal itu bukanlah maslahat.” [4]
Beliau kemudian memberikan contoh, seperti adzan pada hari raya.
Adzan itu sendiri pada asalnya adalah maslahat. Dan faktor dilakukannya
juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat, tetapi Nabi n\ tidak
melakukannya pada hari raya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah
maslahat. Kita meyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatkan larangan
khusus akan hal tersebut atau sebelum kita mendapatkan bahwa hal
tersebut membawa mafsadat.
Demikian juga, apabila kita terapkan kaidah ini dalam masalah
demonstrasi. Tidak diragukan bahwa faktor pendorong demonstrasi dan
sejenisnya adalah suatu kezaliman, atau suatu hak atau hukum yang tidak
ditegakkan. Semua itu sudah ada pada zaman Nabi n\ dan para salaf, namun
mereka tidak menerapkan (melakukan)nya, maka hal ini menunjukkan bahwa
demonstrasi tidak disyari’atkan dan bahwa meninggalkannya merupakan
metode salaf.[5]
2. Demonstrasi termasuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir
Tidak diperselisihkan oleh siapa pun bahwa demonstrasi adalah produk
orang-orang kafir dan munafik yang sejak dahulu kala ingin membuat
kerusakan di muka bumi.
Syaikh Sholih bin Fauzan b\ berkata, “Menumbuhkan kebencian kepada
pemimpin dalam hati rakyat merupakan usaha para perusak yang ingin
membuat kekacauan di muka bumi. Orang-orang munafik sejak dahulu telah
berusaha melakukan hal ini ketika mereka ingin memisahkan kaum muslimin
dari Rosululloh n\ untuk membuat kekacauan pada masyarakat seraya
mengatakan:
لَا تُنفِقُوا۟ عَلَىٰ مَنْ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ حَتَّىٰ يَنفَضُّوا۟ ۗ
“Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang
(Muhajirin) yang ada di sisi Rosululloh supaya mereka bubar
(meninggalkan Rosululloh).” (QS. al-Munafiqun [63]: 7)
Maka setiap usaha untuk membuat permusuhan antara pemimpin dengan
rakyat adalah usaha kaum munafik dan perusak di muka bumi yang bila
dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan”, mereka
menjawab, “Kami adalah orang-orang yang memperbaiki.” [6]
Pikirkanlah, bukankah syari’at Islam telah melarang kita sebagai umat Islam untuk meniru orang-orang kafir?! Nabi n\ bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” [7]
Lantas, kenapakah kita meninggalkan petunjuk Nabi n\ dan malah
mengambil produk manusia kafir?! Apakah petunjuk mereka lebih benar dan
utama?! Celaka, tidakkah mereka berpikir dahulu dari mana asal mula
demonstrasi ini sebelum melakukannya?! Adakah Islam mengajarkannya
ataukah ajaran orang-orang kafir yang telah mereka praktikkan dan
perjuangkan?!! Hanya kepada Alloh kita mengadukan semua ini.
3. Kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak
Al-Hafizh Ibnul Qoyyim v\ berkata, “Apabila seorang merasa kesulitan
tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah
dia melihat kepada mafsadat (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan
olehnya. Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang
lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam memerintahkan
atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang
pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Alloh
dan Rosul-Nya baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seorang yang
cerdik tidak akan ragu akan keharamannya.” [8]
Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga ini marilah kita
bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil. Apakah yang kita
dapati bersama? Kita akan mendapati dampak negatif dan
kerusakan-kerusakan akibat demonstrasi, di antaranya: hilangnya keamanan
negara, hilangnya wibawa pemimpin, kerusakan bangunan dan jalan,
penjarahan, kemacetan lalu lintas, keluarnya kaum wanita di jalan-jalan,
aksi mogok makan[9] yang sangat mengkhawatirkan, bahkan tak jarang nyawa manusia melayang.[10] Kemudian, tanyakan pada dirimu, bukankah demonstrasi sudah seringkali digelar? Lantas apa hasilnya? Pikirkanlah!!
4. Menyelisihi sunnah Nabi n\ dalam menasihati pemimpin
Pemimpin suatu negara adalah manusia biasa seperti kita. Mereka juga
terkadang salah, maka kewajiban bagi setiap muslim adalah saling
memberikan nasihat dan mengingatkan. Ini adalah suatu kewajiban agama
dan amalan ibadah yang sangat utama.
Namun, tentu saja cara menasihati pemimpin tidak sama dengan
menasihati orang biasa, sebagaimana tidak sama cara seorang anak
menasihati orang tua dengan cara orang tua menasihati anak. Sebab itu,
Islam memberikan rambu-rambu tentang etika menasihati pemimpin agar
tidak malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Rosululloh n\
bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ
يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ
فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أََدَّى الَّذِيْ كَانَ
عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa hendak menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya
terang-terangan. Akan tetapi, hendaklah ia mengambil tangannya (sang
penguasa tersebut), kemudian menyepi. Apabila penguasa itu mau menerima,
maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak menerima, sungguh dia telah
menunaikan kewajibannya.” [11]
Inilah cara yang syar’i dan selamat, yaitu menasihati pemimpin secara
sembunyi-sembunyi empat mata, atau melalui surat, atau melalui orang
dekat pemimpin, dan sebagainya, bukan dengan membeberkan kesalahan
pemimpin di mimbar-mimbar bebas, di tempat umum, koran, majalah,
dan—termasuk juga—demonstrasi. Maka kami nasihatkan, janganlah engkau
tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh cara-cara keliru seperti
itu walaupun niat pelakunya baik, karena cara yang demikian jelas
menyelisihi sunnah.
5. Jembatan menuju pemberontakan
Al-Imam al-Bukhori (7053) dan Muslim (1849) telah meriwayatkan bahwa Rosululloh n\ bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِليَّةً
“Barang siapa membenci sesuatu pada pemimpinnya[12]
maka hendaknya dia bersabar, karena seorang yang keluar dari pemimpin
satu jengkal saja maka dia mati sepertinya matinya orang di masa
jahiliah.” [13]
Kalau keluar satu jengkal saja tidak boleh, lantas dalam aksi
demonstrasi berapa jengkal?! Bukankah biasanya aksi demonstrasi
dijadikan alat untuk memberontak dan menggulingkan kursi kepemimpinan?!
Ibnu Abi Jamroh v\ berkata, “Maksudnya keluar dari pemimpin
yaitu berusaha untuk melepaskan ikatan bai’at yang dimiliki oleh sang
pemimpin dengan cara apa pun. Nabi n\ menggambarkan dengan satu jengkal,
karena usaha tersebut bisa menjurus kepada tertumpahnya darah tanpa
alasan yang benar.” [14]
Perlu kami tegaskan di sini bahwa yang disebut menghujat dan memberontak
pemimpin tidak harus dengan pedang, tetapi juga mencakup segala sarana
menuju kepadanya seperti: mencela pemimpin, menyebarkan kejelekan
pemimpin, dan—termasuk pula—melakukan aksi demonstrasi. Sebab, manusia
tidak akan memberontak pemimpin dengan pedang tanpa ada yang menyalakan
api kebencian di hati mereka walaupun dengan dalih menegakkan pilar amar
ma’ruf nahi munkar. Hal ini ditegaskan secara bagus oleh Abdulloh bin
’Ukaim bahwa menyebarkan kejelekan pemimpin adalah kunci untuk
menumpahkan darahnya. Beliau mengatakan, “Saya tidak akan membantu untuk
menumpahkan darah seorang kholifah selama-lamanya setelah Utsman a\.”
Ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad! Apakah engkau membantunya?”
Beliau menjawab, “Saya menilai bahwa menyebutkan kejelekannya adalah kunci untuk menumpahkan darahnya.” [15]
Al-Hafizh Ibnu Hajar v\ berkata, “Faktor utama terbunuhnya Utsman a\
adalah celaan kepada para gubernurnya, yang secara otomatis kepada
beliau juga yang mengangkat mereka sebagai gubernur.” [16]
Perhatikanlah hal ini baik-baik wahai saudaraku. Janganlah kita
tertipu dengan godaan setan dan pujian manusia bahwa kita adalah seorang
pemberani dan lantang bicara kebenaran, berani mengkritik pemerintah,
dan sebagainya, karena semua itu adalah tipu daya Iblis semata!!
Dari sinilah kita mengetahui kebenaran fatwa para ulama kita Ahlus
Sunnah wal Jama’ah semisal Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad
bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh
Sholih al-Fauzan yang menegaskan bahwa aksi demonstrasi adalah tidak
boleh dan terlarang dalam tinjauan agama.[17]
Adapun syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh sebagian kalangan yang
melegalkan demonstrasi maka semua itu adalah argumen yang sangat rapuh
dalam timbangan syari’at.[18]
Demonstrasi Damai
Sebagian kalangan mencoba untuk memperindah demonstrasi dengan label
“demonstrasi damai”, “demonstrasi aman”, dan sebagainya untuk melegalkan
aksi demonstrasi, yaitu dengan melakukan aksi demonstrasi secara
tertib, rapi, menjaga emosi, dan sebagainya.
Aduhai, siapakah yang bisa menjamin para demonstran dari emosi mereka
saat aksi tersebut?! Bukankah kita harus membendung segala sarana
menuju kerusakan?! Alangkah miripnya keadaan mereka dengan ucapan
penyair:
أَلْقَاهُ فِي الْيَمِّ مَكْتُوْفاً وَقَالَ لَهُ # إِيَّاكَ إِيَّاكَ أَنْ تَبْتَلََّ بِالْمَاءِ
Dia melemparnya ke laut dalam keadaan terikat
Lalu berkata: “Awas, hati-hati jangan sampai basah kena air.
Kemudian, apakah kemungkaran demonstrasi hanya terbatas pada
kerusakan saja?! Bukankah di sana ada kemungkaran lainnya, seperti
tasyabbuh dengan orang kafir, bid’ah, menyelisihi metode Nabi dalam
nasihat, menjurus kepada pemberontakan dan lain sebagainya.
Syaikh Abu Ishaq b\ pernah ditanya, “Kalau faktor terlarangnya
demonstrasi adalah kerusakan yang ditimbulkan darinya, lantas bolehkah
mengadakan aksi demonstrasi damai untuk menyampaikan aspirasi rakyat
tanpa membuat kerusakan?”
Beliau menjawab, “Yang saya yakini, demonstrasi tetap tidak boleh
sekalipun dilakukan secara damai. Demonstrasi berasal dari barat.
Demonstrasi di negeri mereka bisa mengubah keputusan politik. Adapun
demonstrasi di negeri Islam tidak mengubah sedikit pun. Kemudian
anggapan bahwa demonstrasi (bisa berjalan dengan) damai, itu tidak
terjamin. Buktinya, demonstrasi yang diatur oleh negara kita (Mesir)
tetap terjadi pengrusakan dan aksi bentrok antara para demonstran dan
polisi padahal negara sendiri yang mengatur demonstrasi.” [19]
Syaikh Ibnu Utsaimin v\ pernah ditanya, “Bila ada seorang pemimpin
yang tidak berhukum dengan hukum Alloh membolehkan kepada rakyatnya
untuk mengadakan aksi demonstrasi damai dengan undang-undang yang dibuat
oleh pemimpin, lalu para demonstran menjalankannya, sehingga apabila
diingkari mereka menjawab, ‘Kami tidak menentang pemimpin, kami
melakukan sesuai dengan undang-undang pemimpin’, apakah hal ini
dibolehkan secara syar’i padahal jelas menyelisihi dalil?”
Beliau menjawab, “Ikutilah jalan para salaf. Kalau memang ini
dilakukan oleh salaf maka itu baik dan bila tidak dilakukan oleh mereka
maka itu jelek. Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi adalah jelek,
karena menyebabkan kekacauan, bentrokan, dan kezaliman baik (terhadap)
kehormatan, harta, dan badan. Sebab, manusia pada saat aksi tersebut
kadang seperti orang mabuk yang tidak mengerti apa yang dia katakan dan
perbuat. Maka demonstrasi semuanya adalah jelek, baik pemerintah
memberikan izin atau tidak. Izin sebagian pemerintah hanyalah sekadar
penampilan luar saja, karena seandainya engkau mengetahui isi hatinya
tentu dia akan sangat membencinya, tetapi dia secara politik mengatakan,
‘Saya harus demokratis dan memberikan kebebasan untuk rakyat.’ Semua
ini bukanlah manhaj salaf.” [20]
Penutup
Demikianlah untaian kata yang dapat kami goreskan dalam lembaran
ilmiah ini, sebagai bentuk nasihat dan penjelasan kepada kaum muslimin
seluruhnya. Tidak ada sama sekali kepentingan pribadi atau politik dalam
tulisan ini, tetapi yang ada adalah kebenaran yang tulus — yang kami
yakini harus dijelaskan kepada umat.
Dan di akhir tulisan ini, kami mengimbau kepada seluruh kaum muslimin
untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang suci berdasarkan al-Qur’an
dan hadits sesuai dengan pemahaman salaf sholih. Marilah kita semua
bertaubat kepada Alloh dan memperbaiki diri kita agar segala krisis,
fitnah, dan problem segera diangkat oleh Alloh. Hanya Islamlah solusi
untuk mengatasi semua itu, bukan dengan metode-metode barat.
Daftar Referensi
- Al-Muzhoharot wa al-I’tishomat wa al-Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah. Dr. Muhammad bin Abdurrohman al-Khumais. Darul Fadhilah, KSA, cet. pertama, 1427 H.
- Hukmu al-Idhrob ’an Tho’am fi al-Fiqh al-Islami. Dr. Abdulloh bin Mubarok bin Abdillah Alu Saif. Jami’ah Imam Ibnu Su’ud, KSA, cet. pertama, 1427 H.
- Demonstrasi Solusi Atau Polusi? Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi. Pustaka Darul Ilmi, Bogor, cet. pertama, 1434 H
- dari: http://abiubaidah.com/raport-merah-aksi-demonstrasi.html/