Laman

Kamis, 29 Agustus 2013

Doa Masa Depan

Doa Nabi صلي الله عليه وسلم:

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ

“Ya Allah, Perbaikilah kehidupan agamaku, yang ia adalah benteng bagi segala urusanku. Perbaikai urusan duniawiku yang padanya kehidupanku. Perbaikilah akhiratku, yang kepadanya tempatku kembali. Jadikanlah hidup ini sebagai lahan uapayaku menambah segala kebajikan, dan jadikanlah mati sebagai titik henti bagiku dari segala keburukan”

Juga doa beliau.

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

“Ya Allah ya Tuhanku, aku mengharap rahmat-Mu, karena itu janganlah Engkau serahkan urusanku kepada diriku sendiri (janganlah Engkau berpaling dariku) walau sekejap mata, perbaikilah semua urusanku, Tiada Tuhan Yang Haq disembah kecuali Engkau”

Selasa, 27 Agustus 2013

Orang-Orang Yang Pertama Masuk Neraka


Kisah Muslim – Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada Hari Kiamat ialah seorang laki-laki yang mati syahid. Ia dihadapkan, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkannya pada berbagai nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya, dan ia pun mengakuinya. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya, ‘Apa yang telah engkau perbuat dengan berbagai nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya telah berperang karena-Mu sehingga saya mati syahid.’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Kamu bohongg. Kamu berperang agar namamu disebut-sebut sebagai orang yang pemberani. Dan ternyata kamu telah disebut-sebut demikian.’ Kemudian orang tersebut diperintahkan agar diseret pada wajahnya hingga dilemparkan ke dalam .”

“Selanjutnya adalah orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca Alquran. Ia dihadapkan, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkannya pada berbagai nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya, dan ia pun mengakuinya. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya, ‘Apa yang telah engkau perbuat berbagai nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya telah mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca Alquran karena-Mu.’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Kamu bohongg. Akan tetapi kamu belajar agar kamu disebut-sebut sebagai orang alim dan kamu membaca Alquran agar kamu disebut-sebut sebagai seorang qari’, dan kenyataannya kamu telah disebut-sebut demikian.’ Kemudian orang tersebut diperintahkan agar diseret pada wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.”

“Kemudian seorang yang diberi keleluasan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dikaruniai beragam harta benda, lantas ia dihadapkan, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada dirinya. Ia pun mengakuinya. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya, ‘Apa yang telah engkau perbuat dengan berbagai nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang Engkau buka melainkan pasti saya berinfak padanya karena-Mu.’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Kamu bohong. Akan tetapi kamu melakukan hal tersebut agar kamu disebut-sebut sebagai orang yang dermawan. Dan kenyataan kamu telah disebut-sebut demikian.’ Kemudian orang tersebut diperintahkan agar diseret pada wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.”

Di dalam suatu riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan .” (QS. Huud: 15-16)

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Jumat, 23 Agustus 2013

Al-qur'an Kalamullah Bukan Makhluk

Al-Qur'an merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan melalui Jibril kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan bahasa Arab untuk orang-orang yang berilmu sebagai peringatan dan kabar gembira, sebagaimana firman Allah ta'ala: 

وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ - نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ - عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ - بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ  

"Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu'ara: 192-195)

Al-Qur'an disampaikan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam kepada umatnya sebagaimana yang diperintahkan Allah:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ

"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu". (Al-Maidah:67),

dan yang disampaikan oleh beliau adalah kalamullah. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

"Apakah kalian yang akan menghalangiku untuk menyampaikan kalam (ucapan) Rabbku"  1

Al-Qur'an yang dihafal dalam hati, dibaca oleh lisan, dan ditulis dalam mushaf-mushaf, bagaimanapun caranya Al-qur'an dibaca oleh qari', dilafadzkan oleh seseorang, dihafal oleh hafidz, atau dibaca dimanapun ia dibaca, atau ditulis dalam mushaf-mushaf dan papan catatan anak-anak dan yang lainnya adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang beranggapan bahwa ia makhluk, maka telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung.

Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: "Al-Qur'an adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, maka dia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung, tidak diterima persaksiannya, tidak dijenguk jika sakit, tidak dishalati jika mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia diminta taubat, kalau tidak mau maka dipenggal lehernya. 2

Abu Ishaq bin Ibrahim pernah ditanya tentang lafadz Al-Qur'an, maka Beliau berkata: "Tidak pantas untuk diperdebatkan. 'Al-Qur'an kalamullah-bukan makhluk ".
                                          
Imam Ahmad bin Hambal berkata: "Orang yang menganggap makhluk lafadz Al-Qur'an adalah Jahmiyah, Allah berfirman:

 فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ

"maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalamullah' (At-Taubah:6).

Dari mana ia mendengar? 3

Abdullah bin Al-Mubarak berkata: "Siapa yang mengkufuri satu huruf Al-Qur'an saja, maka ia kafir (ingkar) dengan Al-Qur'an. Siapa yang mengatakan: Saya tidak percaya dengan Al-Qur'an maka ia kafir"  

 
Footenote

1 Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:" Adakah seseorang yang mau membawaku ke kaumnya?.
Sesungguhnya orang-orang Quraisy menghalangiku untuk menyampaikan kalam (ucapan) Rabbku" (HR.
Bukhari dalam Af'alul 'ibad, At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Majah)

2 Sanadnya shahih, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffadz

3 Sanadnya shahih

Kamis, 22 Agustus 2013

Demonstrasi Bukan Solusi

Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf Assidawi


Definisi Demonstrasi

Dalam sebuah kamus bahasa Indonesia, demonstrasi diartikan sebagai pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji, poster, dan sebagainya yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan demonstrasi tersebut.[1]

Jadi, demonstrasi adalah suatu metode untuk mengungkapkan aspirasi para demonstran terhadap negara atau atasan dengan menuntut terwujudnya tuntutan mereka dari aksi tersebut.

Sejarah Demonstrasi

Bila kita telusuri sejarah, akan kita dapati bahwa demonstrasi bukan berasal dari Islam. Demonstrasi tidak dikenal pada zaman Nabi n\ dan para sahabat f\, tetapi dilakukan oleh orang Khowarij yang ingin menggulingkan Utsman dan Ali bin Abi Tholib d\.

Kemudian seiring dengan bergolaknya revolusi Prancis, demonstrasi dihidupkan oleh orang-orang kafir Prancis bersama dengan induknya yang bernama demokrasi. Oleh karena itu, negara Prancis secara resmi memasukkan demokrasi dalam undang-undang mereka dengan label Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1791. Disebutkan dalam pasal tiga, “Rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak diambil dari mereka.” Ini adalah penegasan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat yang tidak dapat dipenggal-penggal lagi serta tanpa kompromi dan tidak akan dapat diubah-ubah.

Kemudian tatkala Prancis menjajah dunia, di antaranya adalah negara-negara Arab seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan negara-negara muslim lainnya, maka secara bersamaan masuklah sistem demokrasi tersebut ke negeri-negeri jajahan.[2]

Hukum Demonstrasi dan Argumentasinya

Demonstrasi merupakan masalah kontemporer yang belum dikenal pada zaman Nabi n\, namun hal itu bukan berarti ia tidak memiliki hukum dalam kacamata syari’at, sebab agama Islam merupakan agama yang sempurna dan mampu menjawab segala permasalahan dengan dalil-dalil umum dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dijelaskan para ulama. Alangkah bagusnya ucapan al-Imam asy-Syafi’i v\ tatkala mengatakan, “Tidak ada suatu masalah baru apa pun yang menimpa seorang berpengetahuan agama kecuali dalam al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya.” [3]

Tidak diragukan lagi bagi seorang yang mau menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya al-Qur’an dan Sunnah serta kaidah-kaidah fiqhiyyah bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh, berdasarkan beberapa argumen sebagai berikut:

1.  Demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama

Oleh para pembelanya, demonstrasi dianggap sebagai salah satu sarana dakwah dan bagian dari ajaran Islam. Padahal, demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama dan tidak dikenal oleh Islam, serta tidak pernah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi n\ yang mulia. Tidak pernah Rosululloh n\ beserta para sahabatnya berdemonstrasi dengan memasang spanduk, meneriakkan yel-yel dan sebagainya ke rumah Abu Jahal atau lainnya, padahal faktor pendorong untuk melakukannya sudah ada pada zaman beliau. Beliau dan para sahabatnya telah dizalimi dengan sangat mengenaskan. Mereka disiksa, dibunuh, diboikot, dan sebagainya. Namun demikian, beliau tidak menggunakan metode ini, maka hal itu menunjukkan bahwa metode ini tidak membawa kebaikan sedikit pun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v\ memberikan sebuah kaidah penting tentang maslahat dan mafsadat, beliau berkata:

فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ لِفِعْلِهِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِn مَوْجُوْدًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ, يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ

“Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi n\, yang tampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi n\, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat.” [4]

Beliau kemudian memberikan contoh, seperti adzan pada hari raya. Adzan itu sendiri pada asalnya adalah maslahat. Dan faktor dilakukannya juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat, tetapi Nabi n\ tidak melakukannya pada hari raya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah maslahat. Kita meyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatkan larangan khusus akan hal tersebut atau sebelum kita mendapatkan bahwa hal tersebut membawa mafsadat.

Demikian juga, apabila kita terapkan kaidah ini dalam masalah demonstrasi. Tidak diragukan bahwa faktor pendorong demonstrasi dan sejenisnya adalah suatu kezaliman, atau suatu hak atau hukum yang tidak ditegakkan. Semua itu sudah ada pada zaman Nabi n\ dan para salaf, namun mereka tidak menerapkan (melakukan)nya, maka hal ini menunjukkan bahwa demonstrasi tidak disyari’atkan dan bahwa meninggalkannya merupakan metode salaf.[5]

2.  Demonstrasi termasuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir

Tidak diperselisihkan oleh siapa pun bahwa demonstrasi adalah produk orang-orang kafir dan munafik yang sejak dahulu kala ingin membuat kerusakan di muka bumi.

Syaikh Sholih bin Fauzan b\ berkata, “Menumbuhkan kebencian kepada pemimpin dalam hati rakyat merupakan usaha para perusak yang ingin membuat kekacauan di muka bumi. Orang-orang munafik sejak dahulu telah berusaha melakukan hal ini ketika mereka ingin memisahkan kaum muslimin dari Rosululloh n\ untuk membuat kekacauan pada masyarakat seraya mengatakan:

لَا تُنفِقُوا۟ عَلَىٰ مَنْ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ حَتَّىٰ يَنفَضُّوا۟ ۗ

“Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rosululloh supaya mereka bubar (meninggalkan Rosululloh).” (QS. al-Munafiqun [63]: 7)

Maka setiap usaha untuk membuat permusuhan antara pemimpin dengan rakyat adalah usaha kaum munafik dan perusak di muka bumi yang bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan”, mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang memperbaiki.” [6]

Pikirkanlah, bukankah syari’at Islam telah melarang kita sebagai umat Islam untuk meniru orang-orang kafir?! Nabi n\ bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” [7]

Lantas, kenapakah kita meninggalkan petunjuk Nabi n\ dan malah mengambil produk manusia kafir?! Apakah petunjuk mereka lebih benar dan utama?! Celaka, tidakkah mereka berpikir dahulu dari mana asal mula demonstrasi ini sebelum melakukannya?! Adakah Islam mengajarkannya ataukah ajaran orang-orang kafir yang telah mereka praktikkan dan perjuangkan?!! Hanya kepada Alloh kita mengadukan semua ini.

3.  Kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak

Al-Hafizh Ibnul Qoyyim v\ berkata, “Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadat (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam memerintahkan atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Alloh dan Rosul-Nya baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya.” [8]

Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga ini marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil. Apakah yang kita dapati bersama? Kita akan mendapati dampak negatif dan kerusakan-kerusakan akibat demonstrasi, di antaranya: hilangnya keamanan negara, hilangnya wibawa pemimpin, kerusakan bangunan dan jalan, penjarahan, kemacetan lalu lintas, keluarnya kaum wanita di jalan-jalan, aksi mogok makan[9] yang sangat mengkhawatirkan, bahkan tak jarang nyawa manusia melayang.[10] Kemudian, tanyakan pada dirimu, bukankah demonstrasi sudah seringkali digelar? Lantas apa hasilnya? Pikirkanlah!!

4.  Menyelisihi sunnah Nabi n\ dalam menasihati pemimpin

Pemimpin suatu negara adalah manusia biasa seperti kita. Mereka juga terkadang salah, maka kewajiban bagi setiap muslim adalah saling memberikan nasihat dan mengingatkan. Ini adalah suatu kewajiban agama dan amalan ibadah yang sangat utama.
Namun, tentu saja cara menasihati pemimpin tidak sama dengan menasihati orang biasa, sebagaimana tidak sama cara seorang anak menasihati orang tua dengan cara orang tua menasihati anak. Sebab itu, Islam memberikan rambu-rambu tentang etika menasihati pemimpin agar tidak malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Rosululloh n\ bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أََدَّى الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهِ لَهُ

“Barang siapa hendak menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi, hendaklah ia mengambil tangannya (sang penguasa tersebut), kemudian menyepi. Apabila penguasa itu mau menerima, maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak menerima, sungguh dia telah menunaikan kewajibannya.” [11]

Inilah cara yang syar’i dan selamat, yaitu menasihati pemimpin secara sembunyi-sembunyi empat mata, atau melalui surat, atau melalui orang dekat pemimpin, dan sebagainya, bukan dengan membeberkan kesalahan pemimpin di mimbar-mimbar bebas, di tempat umum, koran, majalah, dan—termasuk juga—demonstrasi. Maka kami nasihatkan, janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh cara-cara keliru seperti itu walaupun niat pelakunya baik, karena cara yang demikian jelas menyelisihi sunnah.

5.  Jembatan menuju pemberontakan

Al-Imam al-Bukhori (7053) dan Muslim (1849) telah meriwayatkan bahwa Rosululloh n\ bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِليَّةً

“Barang siapa membenci sesuatu pada pemimpinnya[12] maka hendaknya dia bersabar, karena seorang yang keluar dari pemimpin satu jengkal saja maka dia mati sepertinya matinya orang di masa jahiliah.” [13]

Kalau keluar satu jengkal saja tidak boleh, lantas dalam aksi demonstrasi berapa jengkal?! Bukankah biasanya aksi demonstrasi dijadikan alat untuk memberontak dan menggulingkan kursi kepemimpinan?! Ibnu Abi Jamroh v\ berkata, “Maksudnya keluar dari pemimpin yaitu berusaha untuk melepaskan ikatan bai’at yang dimiliki oleh sang pemimpin dengan cara apa pun. Nabi n\ menggambarkan dengan satu jengkal, karena usaha tersebut bisa menjurus kepada tertumpahnya darah tanpa alasan yang benar.” [14]

Perlu kami tegaskan di sini bahwa yang disebut menghujat dan memberontak pemimpin tidak harus dengan pedang, tetapi juga mencakup segala sarana menuju kepadanya seperti: mencela pemimpin, menyebarkan kejelekan pemimpin, dan—termasuk pula—melakukan aksi demonstrasi. Sebab, manusia tidak akan memberontak pemimpin dengan pedang tanpa ada yang menyalakan api kebencian di hati mereka walaupun dengan dalih menegakkan pilar amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini ditegaskan secara bagus oleh Abdulloh bin ’Ukaim bahwa menyebarkan kejelekan pemimpin adalah kunci untuk menumpahkan darahnya. Beliau mengatakan, “Saya tidak akan membantu untuk menumpahkan darah seorang kholifah selama-lamanya setelah Utsman a\.” Ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad! Apakah engkau membantunya?” Beliau menjawab, “Saya menilai bahwa menyebutkan kejelekannya adalah kunci untuk menumpahkan darahnya.”[15]

Al-Hafizh Ibnu Hajar v\ berkata, “Faktor utama terbunuhnya Utsman a\ adalah celaan kepada para gubernurnya, yang secara otomatis kepada beliau juga yang mengangkat mereka sebagai gubernur.” [16]

Perhatikanlah hal ini baik-baik wahai saudaraku. Janganlah kita tertipu dengan godaan setan dan pujian manusia bahwa kita adalah seorang pemberani dan lantang bicara kebenaran, berani mengkritik pemerintah, dan sebagainya, karena semua itu adalah tipu daya Iblis semata!!

Dari sinilah kita mengetahui kebenaran fatwa para ulama kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah semisal Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh Sholih al-Fauzan yang menegaskan bahwa aksi demonstrasi adalah tidak boleh dan terlarang dalam tinjauan agama.[17] Adapun syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh sebagian kalangan yang melegalkan demonstrasi maka semua itu adalah argumen yang sangat rapuh dalam timbangan syari’at.[18]

Demonstrasi Damai

Sebagian kalangan mencoba untuk memperindah demonstrasi dengan label “demonstrasi damai”, “demonstrasi aman”, dan sebagainya untuk melegalkan aksi demonstrasi, yaitu dengan melakukan aksi demonstrasi secara tertib, rapi, menjaga emosi, dan sebagainya.

Aduhai, siapakah yang bisa menjamin para demonstran dari emosi mereka saat aksi tersebut?! Bukankah kita harus membendung segala sarana menuju kerusakan?! Alangkah miripnya keadaan mereka dengan ucapan penyair:

أَلْقَاهُ فِي الْيَمِّ مَكْتُوْفاً وَقَالَ لَهُ  #  إِيَّاكَ إِيَّاكَ أَنْ تَبْتَلََّ بِالْمَاءِ

Dia melemparnya ke laut dalam keadaan terikat
Lalu berkata: “Awas, hati-hati jangan sampai basah kena air.

Kemudian, apakah kemungkaran demonstrasi hanya terbatas pada kerusakan saja?! Bukankah di sana ada kemungkaran lainnya, seperti tasyabbuh dengan orang kafir, bid’ah, menyelisihi metode Nabi dalam nasihat, menjurus kepada pemberontakan dan lain sebagainya.

Syaikh Abu Ishaq b\ pernah ditanya, “Kalau faktor terlarangnya demonstrasi adalah kerusakan yang ditimbulkan darinya, lantas bolehkah mengadakan aksi demonstrasi damai untuk menyampaikan aspirasi rakyat tanpa membuat kerusakan?”

Beliau menjawab, “Yang saya yakini, demonstrasi tetap tidak boleh sekalipun dilakukan secara damai. Demonstrasi berasal dari barat. Demonstrasi di negeri mereka bisa mengubah keputusan politik. Adapun demonstrasi di negeri Islam tidak mengubah sedikit pun. Kemudian anggapan bahwa demonstrasi (bisa berjalan dengan) damai, itu tidak terjamin. Buktinya, demonstrasi yang diatur oleh negara kita (Mesir) tetap terjadi pengrusakan dan aksi bentrok antara para demonstran dan polisi padahal negara sendiri yang mengatur demonstrasi.” [19]

Syaikh Ibnu Utsaimin v\ pernah ditanya, “Bila ada seorang pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Alloh membolehkan kepada rakyatnya untuk mengadakan aksi demonstrasi damai dengan undang-undang yang dibuat oleh pemimpin, lalu para demonstran menjalankannya, sehingga apabila diingkari mereka menjawab, ‘Kami tidak menentang pemimpin, kami melakukan sesuai dengan undang-undang pemimpin’, apakah hal ini dibolehkan secara syar’i padahal jelas menyelisihi dalil?”

Beliau menjawab, “Ikutilah jalan para salaf. Kalau memang ini dilakukan oleh salaf maka itu baik dan bila tidak dilakukan oleh mereka maka itu jelek. Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi adalah jelek, karena menyebabkan kekacauan, bentrokan, dan kezaliman baik (terhadap) kehormatan, harta, dan badan. Sebab, manusia pada saat aksi tersebut kadang seperti orang mabuk yang tidak mengerti apa yang dia katakan dan perbuat. Maka demonstrasi semuanya adalah jelek, baik pemerintah memberikan izin atau tidak. Izin sebagian pemerintah hanyalah sekadar penampilan luar saja, karena seandainya engkau mengetahui isi hatinya tentu dia akan sangat membencinya, tetapi dia secara politik mengatakan, ‘Saya harus demokratis dan memberikan kebebasan untuk rakyat.’ Semua ini bukanlah manhaj salaf.” [20]

Penutup

Demikianlah untaian kata yang dapat kami goreskan dalam lembaran ilmiah ini, sebagai bentuk nasihat dan penjelasan kepada kaum muslimin seluruhnya. Tidak ada sama sekali kepentingan pribadi atau politik dalam tulisan ini, tetapi yang ada adalah kebenaran yang tulus — yang kami yakini harus dijelaskan kepada umat.

Dan di akhir tulisan ini, kami mengimbau kepada seluruh kaum muslimin untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang suci berdasarkan al-Qur’an dan hadits sesuai dengan pemahaman salaf sholih. Marilah kita semua bertaubat kepada Alloh dan memperbaiki diri kita agar segala krisis, fitnah, dan problem segera diangkat oleh Alloh. Hanya Islamlah solusi untuk mengatasi semua itu, bukan dengan metode-metode barat.

Daftar Referensi

  1. Al-Muzhoharot wa al-I’tishomat wa al-Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah. Dr. Muhammad bin Abdurrohman al-Khumais. Darul Fadhilah, KSA, cet. pertama, 1427 H.
  2. Hukmu al-Idhrob ’an Tho’am fi al-Fiqh al-Islami. Dr. Abdulloh bin Mubarok bin Abdillah Alu Saif. Jami’ah Imam Ibnu Su’ud, KSA, cet. pertama, 1427 H.
  3. Demonstrasi Solusi Atau Polusi? Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi. Pustaka Darul Ilmi, Bogor, cet. pertama, 1434 H 
  4.  dari: http://abiubaidah.com/raport-merah-aksi-demonstrasi.html/

Cium Tangan Orang Tua Atau Guru

Di Indonesia, mencium tangan merupakan kebiasaan (‘urf) yang ma’ruf beredar di tengah masyarakat, terutama ditujukan kepada orang tua atau sebagian guru yang mempunyai keutamaan. Ada sebagian ikhwan yang mengingkari perbuatan ini dan menganggapnya sebagai tindakan ghulluw (berlebih-lebihan) dan bid’ah, tidak ada contohnya dari kalangan salaf.
 
Jika kita dudukkan permasalahan secara lebih arif, segala macam ‘urf itu diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan syari’at.[1] Tidak terkecuali permasalahan yang tertera dalam judul artikel.

Ada nash yang menunjukkan kebolehan mencium tangan orang lain sebagai satu tanda penghormatan. Di antaranya :
 
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نَصْرٍ التَّمَّارُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: " بَايَعْتُ بِيَدِي هَذِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَاهَا، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ "
 
Telah menceritakan Ahmad bin Al-Hasan bin ‘Abdil-Jabbaar Ash-Shuufiy di baghdaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr At-Tammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid Al-Makhzuumiy, dari ‘Abdurrahmaan bin Raziin, dari Salamah bin Al-Akwaa’, ia berkata : “Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tanganku ini, lalu kami menciumnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal itu” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Al-Muqri’ dalam Ar-Rukhshah fii Taqbiilil-Yadd no. 12; hasan].
 
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ رَزِينٍ، قَالَ: " مَرَرْنَا بِالرَّبَذَةِ، فَقِيلَ لَنَا: هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الأَكْوَعِ، فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: بَايَعْتُ بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَخْرَجَ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَنَّهَا كَفُّ بَعِيرٍ، فَقُمْنَا إِلَيْهَا فَقَبَّلْنَاهَا "
 
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Raziin, ia berkata : “Kami pernah melewati daerah Rabadzah. Lalu dikatakan kepada kami : “Itu dia Salamah bin Al-Akwa’”. Maka kami mendatanginya dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu ia mengeluarkan kedua tangannya dan berkata : “Aku berbaiat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua tanganku ini”. Ia mengeluarkan kedua telapak tangannya yang besar yang seperti tapak onta. Kami pun berdiri, lalu menciumnya (tangan Salamah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 973; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Al-Adabul-Mufrad hal. 372].
 
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، نَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ النَّيْسَابُورِيُّ، نَا الْحَسَنُ بْنُ عِيسَى، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ دَاوُدَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: " رَكِبَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، فَأَخَذَ ابْنَ عَبَّاسٍ بِرِكَابِهِ، فَقَالَ لَهُ: لا تَفْعَلْ يَا ابْنَ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائِنَا، فَقَالَ زَيْدٌ: أَرِنِي يَدَكَ، فَأَخْرَجَ يَدَهُ، فَقَبَّلَهَا زَيْدٌ، وَقَالَ: هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِأَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
 
Telah menceritakan kepada kami Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Naisaabuuriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin ‘Iisaa, dari Ibnul-Mubaarak, dari Daawud, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Zaid bin Tsaabit pernah mengendarai hewan tunggangannya, lalu Ibnu ‘Abbaas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Zaid berkata : “Jangan engkau lakukan wahai anak paman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan (menghormati) ulama kami”. Zaid berkata : “Kemarikanlah tanganmu”. Lalu Ibnu ‘Abbaas mengeluarkan tangannya, kemudian Zaid menciumnya dan berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan (menghormati) ahli bait Nabi kami shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasah wa Jawaahirul-‘Ilm 4/146-147 no. 1314; dihasankan oleh Masyhuur Hasan Salmaan dalam takhrij-nya atas kitab tersebut].
 
Perkataan Ibnu ‘Abbaas dan Zaid : “beginilah kami diperintahkan…..”, menunjukkan hukum marfu’ atas riwayat ini.[2]
 
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زِيَادِ بْنِ فَيَّاضٍ، عَنْ تَمِيمِ بْنِ سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَبَّلَ يَدَ عُمَرَ ، قَالَ تَمِيمٌ: وَالْقُبْلَةُ سُنَّةٌ
 
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Ziyaad bin Fayyaadl, dari Tamiim bin Salamah : Bahwasannya Abu ‘Ubaidah (bin Al-Jarraah) pernah mencium tangan ‘Umar”. Tamiim berkata : “Ciuman (tangan) adalah sunnah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 26611 dan dalam Al-Adab no. 4; dla’iif[3], namun perkataan Tamiim bahwa ciuman tangan adalah sunnah, shahih].
 
Tamiim adalah seorang tsiqah dari kalangan ulama tabi’iin pertengahan.
 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الصَّائِغُ، ثنا سَعِيدٌ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ طَلْحَةَ، " أَنَّهُ قَبَّلَ يَدَ خَيْثَمَةَ ".قَالَ مَالِكٌ: وَقَبَّلَ طَلْحَةُ يَدِي
 
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy Ash-Shaaigh : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid (bin Manshuur) : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari Maalik bin Mighwal, dari Thalhah : Bahwasannya ia mencium tangan Khaitsamah. Maalik berkata : “Dan Thalhah mencium tanganku” [Diriwayatkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam Al-Qubal no. 6; shahih].
 
Maalik bin Mighwal adalah seorang tsiqah dari kalangan kibaaru atbaa’it-taabi’iin. Thalhah bin Musharrif adalah seorang yag tsiqah, qari’, lagi mempunyai keutamaan dari kalangan ulama shighaarut-taabi’iin.
 
عَنْ عَلِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ، يَقُولُ: " لا بَأْسَ بِهَا لِلْإِمَامِ الْعَادِلِ، وَأَكْرَهُهَا عَلَى دُنْيَا "
 
Dari ‘Aliy bin Tsaabit, ia berkata : Aku mendengar Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : “Tidak mengapa dengannya (yaitu mencium tangan) terhadap imam yang adil, namun aku membencinya jika dilandasi alasan dunia” [Al-Wara’, no. 479; shahih].
 
Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
 
سألت أبا عبد الله عن قبلة اليد فلم ير به بأسا على طريق التدين ،وكرهها على طريق الدنيا
 
“Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang mencium tangan, maka ia memandang hal itu tidak mengapa jika dilakukan karena alasan agama, dan ia memakruhkan jika dilakukan karena alasan keduniaan” [Al-Wara’, no. 476].
 
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
 
تَقْبِيل يَد الرَّجُل لِزُهْدِهِ وَصَلَاحه أَوْ عِلْمه أَوْ شَرَفه أَوْ صِيَانَته أَوْ نَحْو ذَلِكَ مِنْ الْأُمُور الدِّينِيَّة لَا يُكْرَه بَلْ يُسْتَحَبّ ، فَإِنْ كَانَ لِغِنَاهُ أَوْ شَوْكَته أَوْ جَاهه عِنْد أَهْل الدُّنْيَا فَمَكْرُوه شَدِيد الْكَرَاهَة وَقَالَ أَبُو سَعِيد الْمُتَوَلِّي : لَا يَجُوز
 
“Mencium tangan seorang laki-laki dikarenakan kezuhudan, keshalihan, ilmu yang dimiliki, kemuliaannya, penjagaannya, atau yang lainnya dari perkara-perkara agama tidaklah dibenci, bahkan disukai. Namun apabila hal itu dilakukan karena faktor kekayaan, kekuasaan, atau kedudukannya di mata orang-orang, maka hal itu sangat dibenci. Dan berkata Abu Sa’iid Al-Mutawalliy : ‘Tidak diperbolehkan” [Fathul-Baariy, 11/57].
 
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata :
 
وأما تقبيل اليد ففي الباب أحاديث وآثار كثيرة، يدل مجموعها على ثبوت ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فنرى جواز تقبيل يد العالم إذا توفرت الشروط الآتية:-
1 - ألا يتخذ عادة بحيث يتطبع العالم على مد يده إلى تلامذته ويتطبع على التبرك بذلك، فإن النبي صلى الله عليه وسلم وإن قبلت يده فإنما كان على الندرة، وما كان كذلك فلا يجوز أن يجعل سنة مستمرة كما هو معلوم من القواعد الفقهية.
2 - ألا يدعو ذلك إلى تكبر العالم على غيره، ورؤيته لنفسه كما هو الواقع مع بعض المشايخ اليوم
3 - ألا يؤدي ذلك إلى تعطيل سنة معلومة، كسنة المصافحة، فإنها مشروعة بفعله صلى الله عليه وسلم وقوله، وهي سبب تساقط ذنوب المتصافحين كما روي في غير ما حديث واحد، فلا يجوز إلغاؤها من أجل أمر أحسن أحواله أنه جائز
 
“Dan adapun mencium tangan, maka dalam bab ini terdapat hadits-hadits dan atsar-atsar yang sangat banyak yang menunjukkan dengan berkumpulnya tentang tetapnya hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka kami berpandangan tentang bolehnya mencium tangan seorang ‘aalim apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
 
1.    Agar tidak menjadikannya kebiasaan yang menjadikan seorang ‘aalim bertabiat mengulurkan tangannya kepada murid-muridnya, yang kemudian menjadi tabi’at (si murid) untuk bertabarruk dengannya. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meskipun tangan beliau dicium para shahabat, maka kejadian itu sangatlah jarang. Jika demikian, maka tidak diperbolehkan menjadikan hal itu sebagai sunnah yang dilakukan secara terus-menerus sebagaimana diketahui dalam kaidah fiqhiyyah.
 
2.    Agar tidak membiarkan hal menjadi kesombongan seorang ‘aalim kepada yang lainnya dan pandangannya terhadap dirinya sendiri sebagaimana hal itu terjadi pada sebagian masyaikh saat ini.
 
3.    Agar tidak menjadi sebab peniadaan sunnah yang telah diketahui, seperti sunnah berjabat tangan, karena itu disyari’atkan berdasarkan perbuatan dan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dimana jabat tangan tersebut menjadi sebab gugurnya dosa-dosa dua orang yang melakukannya, sebagaimana diriwayatkan lebih dari satu hadits. Maka tidak diperbolehkan membatalkannya (sunnah jabat tangan) dengan sebab mengerjakan amalan yang keadaan terbaiknya dihukumi boleh” [Silsilah Ash-Shahiihah, 1/252-253].
 
Asy-Syaikh Ibnul-Jibriin rahimahullah berkata :
 
نرى جواز ذلك إذا كان على وجه الاحترام والتوقير للوالدين والعلماء وذوي الفضل وكبار الأسنان من الأقارب ونحوهم، وقد ألف في ذلك ابن الأعرابي رسالة في أحكام تقبيل اليد ونحوها، فليرجع إليها، ومتى كان هذا التقبيل للأقارب المُسنين وذوي الفضل فإنه يكون احترامًا ولا يكون تذللا ولا يكون تعظيمًا، وقد رأينا بعض مشائخنا يُنكرون ذلك ويمنعونه، وذلك منهم من باب التواضع لا لتحريمه فيما يظهر. والله أعلم
 
“Kami berpendapat bolehnya hal itu, apabila tujuannya untuk menghormati dan menghargai kedua orang tua, ulama, orang terhormat dan yang berusia lanjut dari karib kerabat dan yang lain. Ibnul-‘Arabiy telah menulis tentang hal itu tentang hukum mencium tangan dan semisalnya. Maka dipersilakan merujuk kepadanya. Apabila mencium tangan ini ditujukan kepada karib kerabat yang berusia lanjut dan orang yang mempunyai keutamaan (ulama) maka hal itu untuk menghormati, bukan merupakan perendahan diri dan pengagungan kepadanya. Kami telah melihat sebagian guru kami mengingkari hal itu dan melarangnya. Hal itu karena sifat tawadlu' dari mereka, bukan karena mengharamkannya. Wallahu a'lam [lihat : http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=12410&parent=3212].
Walhasil, mencium tangan seseorang sebagai satu tanda penghormatan kita terhadapnya (misal : orang tua, suami, guru, ulama, dan yang semisalnya) adalah diperbolehkan dengan rambu-rambu syar’iy yang telah dijelaskan para ulama di atas.
Inilah sedikit yang bisa saya tuliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta, Indonesia].


Catatan kecil :
Riwayat tersebut menunjukkan bahwa ciuman tangan yang dilakukan Zaid kepada Ibnu ‘Abbaas bukan dalam rangka tabarruk, akan tetapi dalam rangka penghormatan terhadap Ahlul-Bait. Hal itu dikarenakan apa yang dilakukan Zaid merupakan balasan atas penghormatan Ibnu ‘Abbaas yang telah menuntun kendaraannya.
[3]     Karena keterputusan antara Tamiim dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.

dari:  http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/06/hukum-mencium-tangan-orang-tua-atau.html

HP Berdering Saat Shalat

Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Dalil-Dalil Tentang Bolehnya Gerakan Saat Sholat Apabila Ada Hajat

Ada beberapa dalil yang sangat jelas menunjukkan bolehnya gerakan seperti mematikan dering HP di tengah sholat ini. Kami cukupkan di sini beberapa saja:

Dalil Pertama:

عَنْ أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ، إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ : مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَائِكُمْ نِعَالِكُمْ قَالُوْا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا.

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata, “Suatu ketika Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sholat mengimami para sahabat, tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Tatkala para sahabat melihat hal itu, maka mereka pun langsung melepas sandal-sandal mereka. Setelah selesai sholat, maka Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Kenapa kalian melepas sandal-sandal kalian?’ Mereka mengatakan, ‘Karena kami melihat engkau melepas sandal, maka kami juga melepas sandal kami.’ Selanjutnya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam tadi datang kepadaku seraya mengabarkan kepadaku bahwa pada sandalku ada najisnya.’” (HR. Abu Dawud: 650, Ahmad: 3/20, Ibnu Khuzaimah: 1017, Ibnu Hibban 5/560)

Dalam hadits ini secara jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan gerakan di tengah sholat yaitu melepas sandal.

Dalil Kedua:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هو شَيْطَانٌ

“Apabila salah seorang di antara kalian sholat menghadap sutroh (pembatas) dari manusia, lalu ada seorang yang ingin untuk lewat di depannya maka hendaknya dia menahannya, kalau masih tidak mau maka hendaknya dilawan karena dia adalah setan.” (HR. al-Bukhori: 487 dan Muslim: 259)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada orang yang sedang sholat untuk menghalangi orang yang hendak lewat di depannya. Tidak diragukan lagi bahwa hal itu termasuk gerakan dalam sholat.

Dalil Ketiga:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ  قَالَ : نِمْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ  وَالنَّبِيُّ  عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي فَقُمْتُ على يَسَارِهِ فَأَخَذَنِيْ فَجَعَلَنِيْ عَنْ يَمِينِهِ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Saya pernah tidur di rumah bibi Maimunah radhiallahu ‘anha ketika Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal bersamanya malam itu, beliau kemudian berwudhu lalu sholat malam, saya pun berdiri sholat di samping kirinya, lalu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menarikku dan meletakkanku di samping kanannya….” (HR. al-Bukhori: 666 dan Muslim: 184)[1]

Dalam hadits ini juga Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan gerakan di tengah sholat karena ada tujuannya.
Sebenarnya, masih banyak dalil-dalil lainnya lagi yang menunjukkan bolehnya gerakan di tengah sholat apabila memang ada hajatnya. Namun, menurut kami tiga hadits di atas cukup untuk mewakili lainnya.

Hukum Mematikan HP yang Berdering Saat Sholat

Setelah kita mengetahui pembagian gerakan dalam sholat dan dalilnya, lantas masuk kategori manakah gerakan untuk mematikan HP di tengah sholat?!

Perlu diketahui bahwa hendaknya bagi seorang yang akan sholat untuk mematikan HP-nya terlebih dahulu atau men-silent (mendiamkannya, mematikan nada deringnya) agar tidak mengganggu jama’ah sholat di tengah sholat berjalan.

Apabila memang ada seorang yang tidak melakukan hal itu, kemudian HP-nya berdering di tengah sholat maka kewajibannya adalah untuk mematikannya sekalipun tangannya perlu bergerak ke saku baju padahal dia sedang sholat, sebab gerakan ini termasuk gerakan yang sedikit untuk suatu hajat, bahkan mayoritas ulama berpendapat bahwa menoleh apabila sedikit maka tidak membatalkan sholat[2], lantas bagaimana kiranya dengan mematikan HP tanpa menoleh, tentu lebih boleh hukumnya. Apalagi, jika seorang tidak mematikan HP di tengah sholat niscaya akan mengganggu kekhusyukan dirinya dan jama’ah lainnya yang sedang melakukan sholat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah pernah menjelaskan bahwa gerakan dalam sholat untuk menggaruk badan dan membenarkan baju adalah agar tidak mengganggu orang yang sholat, kata beliau, “Karena menghilangkan sebab-sebab yang mengganggu orang sholat dapat membantunya untuk terus khusyuk dalam sholat yang sangat dianjurkan dalam agama.”[3]

Kesimpulannya, hendaknya seorang menonaktifkan HP terlebih dahulu ketika akan sholat. Namun, apabila berdering di tengah sholat dan dapat mengganggu kekhusyukan maka boleh—bahkan wajib—baginya untuk mematikannya sekalipun dia tengah sedang melakukan sholat, sebab jika tidak maka akan mengganggu kekhusyukan sholat. Semua itu dengan syarat apabila dia tidak menambah dengan gerakan-gerakan lainnya seperti melihat nama dan nomor penelepon dan sebagainya.[4]
 

Daftar Referensi

  1. Masa‘il Mu’ashiroh Mimma Ta‘ummu Biha al-Balwa Fil Ibadat. Nayif bin Jam’an Juraidan. Daru Kunuz Isybiliya, KSA, cet. pertama, 1430 H.
  2. Ahkamu al-Harokah Fish Sholah. Dr. Sa’aduddin bin Muhammad al-Kibbi. Maktabah Ma’arif, KSA, cet. pertama, 1428 H.
  3. Adabul Hathif. Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid. Darul Ashimah, KSA, cet. kedua, 1418 H

Footenote:
[1]     Faedah: Hadits ini memuat banyak sekali faedah, sebagian penulis menghimpun faedah-fedah yang terkandung di dalamnya, sehingga mampu mencapai seratus faedah. Lihat buku 100 Faedah Muhimmah fi Haditsin Li Habril Ummah karya Muhammad bin Hasan al-Bulqosi.
[2]     At-Tamhid: 21/103 karya Ibnu Abdil Barr, al-Mughni: 1/696 karya Ibnu Qudamah.
[3]     Fathul Bari: 3/94
[4]    Lihat Ahkamul Harokah Fish Sholah hlm. 63 karya Dr. Sa’duddin al-Kibbi dan Masa‘il Mu’ashiroh Mimma Ta‘ummu Biha al-Balwa Fi Fiqhil Ibadat hlm. 324–327 karya Nayif bin Jam’an Juraidan.