Laman

Selasa, 17 Desember 2013

Hukum Perayaan Tahun Baru Masehi

Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang. Di antara alasan statement ini adalah:

Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)

Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,

من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة

“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”

Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)

Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,

قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).

Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.

Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.

Keempat, Allah berfirman menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah yang pilihan),

و الذين لا يشهدون الزور

Dan orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur…
 
Sebagian ulama menafsirkan kata ‘az-Zuur’ pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir. Artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir berarti dia bukan orang baik.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Sekilas Sejarah Tahun Baru Masehi

Beberapa hari lagi kita akan menyaksikan perayaan besar, perayaan yang dilangsungkan secara massif oleh masyarakat di seluruh dunia. Ya, itulah perayaan tahun baru yang secara rutin disambut dan dimeriahkan dengan berbagai acara dan kemeriahan.

Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan. Kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400)

Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat paganis Romawi.

Acara ini terus dirayakan oleh masyarakt modern dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya kembang api, dsb.

 http://www.konsultasisyariah.com/hukum-merayakan-tahun-baru/

Hukum Ucapkan Selamat Natal

Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya "Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah" berkata:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل
 
"Adapun memberi selamat terhadap perayaan-perayaan kufur yang khusus maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan (para ulama) seperti seseorang (muslim) memberi selamat kepada mereka (orang-orang kafir) atas perayaan-perayaan mereka. Maka ia berkata "Perayaan yang diberkahi atasmu…" atau "Selamat gembira dengan perayaan ini" atau yang semisalnya. Maka perbuatan seperti ini –kalau tidak pengucapnya selamat dari kekufuran- maka perbuatan ini merupakan keharaman, dan kedudukannya seperti jika ia memberi ucapan selamat kepada orang yang sujud ke salib. Bahkan hal ini lebih parah dosanya di sisi Allah dan lebih di murkai dari pada jika ia mengucapkan selamat kepada orang yang minum khomr (bir) atau membunuh orang lain, atau melakukan zina dan yang semisalnya. Banyak orang yang tidak memiliki ilmu agama yang cukup terjerumus dalam hal ini, dan mereka tidak tahu akan buruknya perbuatan mereka." (Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah 1/441, tahqiq : Yusuf bin Ahmad Al-Bakry dan Syaakir bin Taufiiq, cetakan Romaady li An-Nasyr, cetakan pertama 1418 H/1997 M)
 

Seseorang hendaknya mencari keridoan Allah ta'ala, dengan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Allah. Allah sangat murka dengan pernyataan bahwa Yesus adalah anak Allah.

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩) تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠) 
أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا

"Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda'wakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak." (QS Maryam : 88-91)

Allah menggambarkan rusaknya keyakinan Allah punya anak dengan menyatakan bahwa pernyataan tersebut hampir-hampir menjadikan benda-benda mati yang megah seperti langit, bumi, dan gunung hancur karena betapa mungkarnya pernyataan tersebut. Lantas kemudian kaum Nasrani bergembira dengan pernyataan tersebut…Lantas sebagian kaum muslimin ikut mengucapkan "Selamat" atas keyakinan yang batil ini, yang merupakan puncak kesyirikan !!!!

Tidak diragukan lagi bagi orang yang berakal/waras bahwasanya jika seseorang berkata kepada orang lain, "Selamat berzina" sambil mengirimkan kartu uacapan selamat, disertai senyuman tatkala mengucapkannya, maka tidak diragukan lagi bahwasanya menunjukan ia ridho dengan "zina" tersebut. Dan itulah yang dipahami oleh sang pelaku zina.

Lantas jika ada orang yang mengucakan "Selamat hari natal" bukankah ini menunjukan ia ridho denga acara kesyirikan dan kekufuran tersebut??. Ucapan selamat seperti ini, tidak diragukan lagi secara dzohir menunjukan keridoan !!!

Dari sinilah kenapa para ulama mengharamkan ucapan "selamat natal". Meskipun –sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwasanya kebanyakan orang yang mengucapkannya tidak bermaksud demikian, dan tidak bermaksud rido dengan kekufuran dan kesyirikan.

Senin, 16 Desember 2013

Bahaya Makan Mie Instan Pakai Nasi

Nasi adalah makanan pokok orang Indonesia. Jika tidak ada nasi, penggantinya bukan kentang atau jagung, tetapi mie instan. Nasi dan mie instan selama bertahun-tahun menjadi belahan jiwa mayoritas warga Indonesia. Jika tidak ada lauk, masak saja mie instan, kalau masih kurang kenyang, tambahkan nasi.

Hayo.. siapa yang sering begini?

Dari sisi praktis, memasak mie instan sangat mudah dan murah, tanpa lauk lain, rasa mie instan sudah enak. Jika ditambah nasi, lebih enak lagi. Sayangnya, kebiasaan yang enak ini bisa membahayakan kesehatan Anda. Pada dasarnya, nasi dan mie instan sama-sama mengandung karbohidrat dan kalori yang tinggi.

Dalam satu porsi mie instan, sudah terkandung sekitar 400 kalori, jumlah itu sama dengan satu porsi nasi ukuran sedang dan lauk pauk. Jika satu porsi mie instan ditambah nasi, bisa Anda bayangkan sendiri berapa kalori yang masuk dalam tubuh. Bisa mencapai 600 - 700 kalori sekali makan, padahal rata-rata wanita dewasa hanya butuh 1200 - 1500 kalori per hari.

Bisa sebabkan kegemukan hingga naikkan risiko diabetes

Perpaduan karbohidrat dari nasi dan mie instan dapat menaikkan indeks glikemik, sehingga gula dalam darah melonjak drastis. Inilah yang membuat semakin tingginya risiko masalah diabetes. Hanya makan nasi dan mie instan juga tidak memenuhi kecukupan gizi lain seperti protein, serat, vitamin dan sebagainya. Tingginya kalori dari mie instan dan nasi juga membuat tubuh mudah gemuk.

Jika Anda memang suka makan mie instan, sebaiknya batasi, setidaknya seminggu sekali saja. Ketimbang mencampur dengan nasi, akan lebih baik jika mie instan ditambah potongan sayur, daging, telur dan sebagainya. Ingat, mie instan mengandung garam dan MSG yang sangat tinggi, sehingga jumlah yang terlalu banyak tidak baik untuk kesehatan Anda.
 
 http://forum.detik.com/-t797275.html

Jumat, 13 Desember 2013

Membawa Mushaf Ke Kamar Mandi, Hukumnya?

BOLEHKAH MEMBAWA MUSHAF KE DALAM KAMAR MANDI
 

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bolehkah seseorang membawa mushaf di sakunya ke dalam kamar mandi karena khawatir mushaf itu akan hilang atau kelupaan jika ditaruh di luar?

 

Jawaban
Seseorang yang menaruh mushaf dalam sakunya kemudian masuk ke kamar mandi, tidak berdosa, karena mushaf tersebut tidak dalam keadaan terbuka, tetapi tertutup dalam saku. Dan ini tidak ada bedanya dengan orang yang masuk ke kamar mandi dan dalam hatinya terdapat seluruh isi Al-Qur'an (hafidzh).

Secara makna hal ini tidak ada bedanya. Bedanya hanya terletak pada penghormatan terhadap Al-Qur'an tersebut. Jika seseorang masuk kamar mandi dengan membawa mushaf dalam sakunya, sedangkan ia tetap meghormati Al-Qur’an dengan cara menutupnya (maka hal ini tidaklah mengapa, -pent), adapun jika mushaf itu nampak, berarti ia tidak menghormati Al-Qur'an. Dan seperti inilah yang dilarang.

 

[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madinah Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Penerjemah Taqdir Muhammad Arsyad, Penerbit media Hidayah]
 


MASUK KAMAR KECIL DENGAN MEMBAWA MUSHAF
 

Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta

 

Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Ada diantara kami yang membawa mushaf di sakunya, terkadang masuk membawanya ke dalam WC, maka apa hukum terhadap hal itu, berilah kami arahan.

 

Jawaban.
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul-Nya beserta keluarga dan para sahabatnya, wa ba’du.

Membawa mushaf di saku adalah boleh, namun seseorang tidak boleh masuk WC dengan membawa mushaf, tetapi dia harus meletakkannya di tempat yang layak sebagai bukti pengagungan dan penghormatan terhadap kitab Allah, namun bila terpaksa masuk WC dengan membawa mushaf karena takut di curi orang bila ditinggal di luar maka, boleh masuk dengan membawanya, karena itu darurat.

Wabilllahit-taufiq, washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa alihi wa shahbihi ajma’in.

 

[Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, soal II dari no. 2245]

http://almanhaj.or.id/content/1067/slash/0/bolehkah-membawa-mushaf-ke-dalam-kamar-mandi-tidak-boleh-membaca-al-quran-di-wc/
 
Catatan: Termasuk di dalam cakupan fatwa di atas membawa hp yang ada mp3 al-qur'an atau aplikasi al-Qur'annya

Rabu, 11 Desember 2013

Hukum Tulis Ayat Al-Qur'an Untuk Diminum (Ruqyah)

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Ada yang membolehkannya, seperti : Mujaahid, Abu Qilaabah, Al-Hasan, dan Al-Auza’iy [lihat Al-Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah 7/386, At-Tibyaan oleh An-Nawawiy hal. 127, dan Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 12/166]. Ada pula yang memakruhkannya, seperti : Ibrahim An-Nakha’iy dan Ibnu Siiriin [lihat Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 12/166 dan Al-Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah 7/387].
عن ابن عباس قال : إذا عَسِر على المرأة ولدها، فيكتب هاتين الآيتين والكلمات في صحفة، ثم تُغسل فتسقى منها : بسم الله الذي لا إله إلا هو الحليم الكريم، سبحان الله ربِّ السماوات السبع، وربِّ العرش العظيم، كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا - كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : “Apabila ada seorang wanita yang kesulitan dalam proses persalinan anaknya, hendaklah ditulis dua ayat dan beberapa kalimat dalam secarik kertas (yang direndam dalam bejana). Kemudian (air bejana itu) dibasuhkan dan diminumkan kepadanya. Kalimat tersebut adalah : “Dengan menyebut nama Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia. Maha Suci Allah, Rabb langit yang tujuh dan Rabb ‘Arsy yang agung - Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari (QS. An-Naazi’aat : 46) - Pada hari mereka melihat ‘adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik (QS. Al-Ahqaaf : 35)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 7/385 dan Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 619. Lihat juga Majmu’ Al-Fataawaa oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah 19/64-65].
Di antara ulama yang membolehkan adalah Syaikhul-Islam rahimahullah dimana beliau berkata :
ويجوز أن يكتب للمصاب وغيره من المريض شيئاً من كتاب الله وذكره بالمداد المباح ويغسل ويسقى، كما نص على ذلك أحمد وغيره.
“Diperbolehkan untuk menuliskan ayat Al-Qur’an dan dzikir-Nya (pada bejana yang berisi air) bagi orang yang sedang sakit atau yang lainnya dengan tinta yang diperbolehkan, kemudian membasuhkannya dan meminumkannya. Sebagaimana hal itu ditegaskan Ahmad dan yang lainnya” [Majmu’ Al-Fataawaa, 19/64].

Senin, 09 Desember 2013

Urutan Yang Berhak Menjadi Imam

hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :

يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواءً فأقدمهم هجرة، فإن كانوا في الهجرة سواءً فأقدمهم سلماً – وفي رواية - سنّاً ولا يؤمّنَّ الرَّجلُ الرَّجلَ في سلطانه ولا يقعد في بيته على تكْرِمَتِه إلا بإذنه“. وفي لفظ: ”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله وأقدمهم قراءة، فإن كانت قراءتهم سواءً...“

”Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya [1]. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang Sunnah. Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah [2]. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”.....yang paling tua usianya” [3]. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya”.
Dan dalam lafadh yang lain : ”Satu kaum diimami oleh orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an di antara mereka dan yang paling berpengalaman membacanya. Kalau bacaan mereka sama.... (sama seperti lafadh sebelumnya).[4]
__________________________________________________
[3]  Perkataan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : “Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya”; menunjukkan secara tegas bahwa orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya didahulukan dari orang yang lebih dalam ilmu fiqhnya. Itu adalah madzhab Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan sebagian shahabat Al-Imam Syafi’i. Al-Imam Malik sendiri, juga Al-Imam Syafi’i dan para shahabat beliau mengatakan : ”Orang yang lebih dalam ilmu fiqhnya didahulukan dari orang yang lebih bagus bacaan Al-Qur’annya. Karena bacaan yang dibutuhkan dalam shalat sudah tertentu, sementara yang harus diketahui tentang hukum shalat lebih luas lagi. Terkadang dalam shalat ada hal-hal yang hanya diketahui oleh orang yang sempurna ilmu pengetahuannya tentang fiqh shalat. Hanya saja dalam sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Kalau dalam Al-Qur’an kemmapuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang Sunnah” ; menjadi dalil untuk mendahulukan orang yang lebih mahir dalam Al-Qur’annya secara mutlak dari orang yang mengerti Sunnah. Yang benar, bahwa orang yang lebih mahir dalam Al-Qur’an memang didahulukan bila ia sudah mengerti hukum-hukum shalatnya. [Lihat Syarah An-Nawawi ’alaa Shahih Muslim 5/178; Al-Mufhim Talkhiisu Kitabi Muslim oleh Al-Qurthubi 2/297; danAl-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/11-12. Lihat juga Fathul-Bari oleh Ibnu Hajar 2/171, Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/389, Hasyiyah Ibni Qasim ’alar-Raudlil-Murbi’ 2/296, Asy-Syarhul-Mumti’ oleh Ibnu ’Utsaimin 4/289-291, dan Subulus-Salam oleh Ash-Shan’ani 3/95].

[4]  Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah” . Hijrah yang didahulukan dalam pemilihan imam tidaklah dikhususkan pada hijrah yang dilakukan Nabi pada masa beliau. Tetapi yang dimaksud adalah hijrah yang tidak akan pernah terputus hingga hari kiamat sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits (yaitu hijrah) dari negeri kafir ke negeri Islam demi menjalankan ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Maka orang yang lebih dahulu melakukan hijrah tersebut, didahulukan menjadi imam, karena ia lebih dahulu melakukan ketaatan. Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/15, Syarhun-Nawawi ’alaa Shahih Muslim 5/179, Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/390, dan Subulus-Salam oleh Ash-Shan’ani 3/96.
[5]  “Yang paling dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”yang paling tua usianya”. Dalam riwayat lain : ”yang paling tinggi usianya”. Usia di sini berkaitan dengan kemuliaan keislaman yang lebih dahulu. Dalam riwayat lain menyebut : ”usia” ; bukan Islam. Kembalinya kepada usia keislaman. Karena orang yang lebih tinggi usianya berarti lebih lama ke-Islam-annya dibandingkan dengan orang yang lebih rendah usianya [Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi 2/298].
[6]  Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al-Masaajid wa Mawaa’idlush-Shalaah, bab : Orang yang paling berhak menjadi imam, no. 673.

disarikan dari:  http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/yang-paling-berhak-menjadi-imam-imam.html

Sabtu, 07 Desember 2013

Bolehkah Mukul Murid?

Teks asli :
السؤال : ما حكم ضرب الطالبات اللاتي يحتجن إلى توجيه سواء في أدب أو علم ؟
الجواب : يحسن الرفق ولين الجانب من المدرس والمعلم للصغار والكبار ولكن إذا استدعى الحال تعزيرًا أو ضربًا غير مبرح جاز ذلك، فإن من عادة السفهاء سوء المعاملة وعدم الاحترام فتدعو الحاجة إلى شدة وقوة تؤثر أكثر من اللطف واللين.
فتاوى إسلامية، ابن جبرين (٤/٣٣٤).
 
Soal :
“Apa hukum memukul murid-murid yang memerlukan bimbingan dalam hal adab ataupun ilmu ?”

Jawab :
“Seorang pengajar atau pendidik hendaknya berbuat kasih sayang dan berlaku lemah-lembut kepada anak kecil dan besar. Namun jika kondisi menuntut untuk memberikan hukuman atau pukulan yang tidak melukai, maka hal ini tidaklah mengapa. Telah menjadi satu fenomena/kebiasaan bagi anak-anak yang bodoh berlaku buruk dalam tindak-tanduknya dan meniadakan rasa hormat (pada orang lain). Maka, kondisi ini menuntut kebutuhan untuk bertindak keras dan tegas yang mana hal itu dirasa lebih berpengaruh (pada si anak) daripada jika kita berlaku lembut dan halus”.

[Fataawaa Islaamiyyah oleh Ibnu Jibriin, 4/334 – dinukil oleh Abu Al-Jauzaa’ untuk seorang teman].


Selasa, 03 Desember 2013

Jangan Tergesa

Allah Subhaanahu wata'ala berfirman:

خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ
Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. [al-Anbiyâ’/21:37]

firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا

Dan manusia bersifat tergesa-gesa. [al-Isrâ’/17:11]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

التَّأَنِّي مِنَ اللهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

Tidak tergesa-gesa/ketenangan datangnya dari Allâh, sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan. (HR. Abu Ya’lâ di Musnadnya IV/206, al-Baihaqi di as-Sunanul Kubrâ X/104 dan yang lainnya.

5 Hal yang boleh Tergesa-gesa

Dalam Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashbahani disebutkan perkataan berikut ini dari Hatim Al Ashom,

كان يقال العجلة من الشيطان إلا في خمس إطعام الطعام إذا حضر الضيف وتجهيز الميت إذا مات وتزويج البكر إذا أدركت وقضاء الدين إذا وجب والتوبة من الذنب إذا أذنب

“Ketergesa-gesaan biasa dikatakan dari setan kecuali dalam lima perkara:
1- menyajikan makanan ketika ada tamu
2- mengurus mayit ketika ia mati
3- menikahkan seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya
4- melunasi utang ketika sudah jatuh tempo
5- segera bertaubat jika berbuat dosa.” (Hilyatul Auliya’, 8: 78)

Minggu, 01 Desember 2013

Peci Hitam, Why Not?

Termasuk hal yang mengherankan, ada sebagian saudara kita yang melarang – atau bahkan mencela – pemakaian peci hitam sebagaimana lazim dipakai penduduk negeri kita. Padahal telah menjadi pengetahuan jamak bahwa peci hitam merupakan salah atribut pakaian kaum muslimin negeri kita. Tidak ada pula dalil yang melarangnya. Peci hitam tidak ubahnya seperti peci putih, hijau, biru, atau warna-warna yang lainnya.

Apakah peci hitam itu dilarang karena warna hitamnya ?. Jika inii alasannya, maka salah satu sifat ‘imamah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah berwarna hitam sebagaimana riwayat :

حدثنا عَلِيُّ بْنُ حَكِيمٍ الْأَوْدِيُّ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ، وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hakiim Al-Audiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik, dari ‘Ammaar Ad-Duhniy, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasuki pada hari penaklukan Makkah dengan memakai ‘imaamah (surban) berwarna hitam [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1358].

Bahkan para ulama kita terdahulu telah ada yang memakai peci berwarna hitam. ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Al-Mughiirah rahimahullah berkata :

رأيت أبا حنيفة شيخاً يفتي الناس بمسجد الكوفة عليه قلنسوة سوداء طويلة

“Aku pernah melihat Abu Haniifah seorang syaikh yang memberikan fatwa kepada manusia di Masjid Kuufah, dimana (waktu itu) ia memakai peci hitam panjang” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 6/399].

حدثنا أَبُو مُسْهِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ عَلَى الْأَوْزَاعِيِّ قَلَنْسُوَةً سَوْدَاءَ فِي أَيَّامِ ابْنِ سُرَاقَةَ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Mus-hir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khaalid, ia berkata : “Aku pernah melihat Al-Auza’iy memakai peci hitam pada peristiwa Ibnu Suraaqah” [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya no. 368 & 2319; shahih].

أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: " كُنْتُ إِذَا رَأَيْتُ دَاوُدَ الطَّائِيَّ لا يُشْبِهُ الْقُرَّاءَ، عَلَيْهِ قَلَنْسُوَةٌ سَوْدَاءُ طَوِيلَةٌ مِمَّا يَلْبَسُ التُّجَّارُ

Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : “Dulu jika aku melihat Daawud Ath-Thaa’iy, ia tidak menyerupai qurraa’, karena ia memakai peci hitam panjang yang dipakai para pedagang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 6/536; shahih].

Hadits, penjelasan ulama, dan contoh-contoh di atas semoga dapat menjadi kejelasan bagi kita tentang diperbolehkannya memakai peci hitam. Bagi yang lebih senang memakai peci putih haji, ya silakan. Bebas memilihnya.

Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.

disarikan dari:  http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/02/siapa-bilang-peci-hitam-dilarang.html

Jumat, 29 November 2013

Siapakah Abu Nuwas (Abu Nawas)?

Dia adalah Abu Ali Hasan bin Hani’ al-Hakami, seorang penyair yang sangat masyhur pada zaman Bani Abbasiyyah.
Kepiawaiannya dalam menggubah qoshidah syair membuat dia sangat terkenal di berbagai kalangan, sehingga dia dianggap sebagai pemimpin para penyair di zamannya.
Namun amat disayangkan, perjalanan hidupnya banyak diwarnai dengan kemaksiatan, dan itu banyak juga mewarnai syair-syairnya. Sehingga saking banyaknya dia berbicara tentang masalah khamr, sampai-sampai kumpulan syairnya ada yang disebut khamriyyat.
Abu Amr Asy-Syaibani berkata, “Seandainya Abu Nuwas tidak mengotori syairnya dengan kotoran-kotoran ini, niscaya syairnya akan kami jadikan hujjah dalam buku-buku kami.”
Bahkan sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai orang yang zindiq meskipun pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama. Di antara yang tidak menyetujui sebutan zindiq ini untuk Abu Nuwas adalah Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (14:73), ketika menyimpulkan tentang kehidupan Abu Nuwas beliau berkata, “Kesimpulannya, para ulama banyak sekali menceritakan peristiwa kehidupannya, juga tentang syair-syairnya yang mungkar, penyelewengannya, kisahnya yang berhubungan dengan masalah khamr, kekejian, suka dengan anak-anak kecil yang ganteng serta kaum wanita sangat banyak dan keji, bahkan sebagian orang menuduhnya sebagai pezina. Di antara mereka juga ada yang menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Di antara mereka ada yang berkata: ‘Dia merusak dirinya sendiri.’ Hanya saja, yang tepat bahwa dia hanyalah melakukan berbagai tuduhan yang pertama saja, adapun tuduhan sebgian orang yang zindiq, maka itu sangat jauh dari kenyataan hidupnya, meskipun dia memang banyak melakukan kemaksiatan dan kekejian.”
Akan tetapi, walau bagaimanapun juga disebutkan dalam buku-buku sejarah bahwa dia bertaubat di akhir hayatnya; semoga memang demikian dan menunjukkan taubatnya adalah sebuah syair yang ditulisnya menjelang wafat:
Ya Allah, jika dosaku teramat sangat banyak
namun saya tahu bahwa pintu maaf-Mu lebih besar

Saya berdoa kepada-Mu dengan penuh tadharru’ sebagaimama Engkau perintahkan
Lalu jika Engkau menolak tangan permohonanku, lalu siapa yang akan merahmati-ku

Jika yang memohon kepada-Mu hanya orang yang baik-baik saja
Lalu kepada siapakah orang yang jahat akan memohon

Saya tidak mempunyai wasilah kepada-Mu kecuali hanya sebuah pengharapan
Juga bagusnya pintu maaf-Mu kemudian saya pun seorang yang muslim
Semoga Allah menerima taubatnya dan memaafkan kesalahannya, karena bagaimanapun juga dia mengakhiri hidupnya dengan taubat kepada Allah. Dan semoga kisah yang diceritakan oleh Ibnu Khalikan dalam Wafyatul-A’yan 2:102 benar adanya dan menjadi kenyataan. Beliau menceritakan dari Muhammad bin Nafi berkata, “Abu Nuwas adalah temanku, namun terjadi sesuatu yang menyebabkan antara aku dengan dia tidak saling berhubungan sampai aku mendengar berita kematiannya. Pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengannya, kukatakan, ‘Wahai Abu Nuwas, apa balasan Allah terhadapmu?’ Dia menjawab, ‘Allah mengampuni dosaku karena beberapa bait syair yang kututlis saat aku sakit sebelum wafat, syair itu berada di bawah bantalku.’ Maka saya pun mendatangi keluarganya dan menanyakan bantal tidurnya dan akhirnya kutemukan secarik kertas yang bertuliskan: … (lalu beliau menyebutkan bait syair di atas).”

 http://kisahmuslim.com/siapakah-sebenarnya-abu-nawas/

Kamis, 28 November 2013

Jangan Marah

عن أبي هريرة رضي الله عنه ، أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : " أوصني " ، قال : ( لا تغضب ) ، فردّد ، قال : ( لا تغضب ) رواه البخاري

Dari Abi Hurairah RA, Bahwsannya ada seorang yang berkata pada Nabi: "Berilah Aku Nasihat", maka Nabi bersabda: "Jangan Marah" kemudian orang itu meminta nasihat lagi, lalu Nabi mengulanginya kembali: "Jangan marah". (HR. Bukhori)

Rabu, 27 November 2013

Download Murottal Muammar ZA

Download Murattol lengkap AlQur'an 30 juz H.Muammar ZA di bawah ini

  1. Surah al-Fatihah
  2. Surah al-Baqarah
  3. Surah ali-Imron
  4. Surah an-Nisaa
  5. surah al-Maidah
  6. Surah al-An'am
  7. Surah al-a'raf
  8. Surah al-Anfal
  9. Surah at-Taubah
  10. Surah Yunus
  11. surah Hud
  12. Surah Yusuf
  13. Surah Arra'd
  14. Surah Ibrahim 
  15. Surah al-Hinjr 
  16. Surah an-Nahl 
  17. Surah al-Isro 
  18. Surah al-Kahfi 
  19. Surah Mariam 
  20. Surah Thoha 
  21. Surah al-Anbiya 
  22. Surah al-Hajj
  23. Surah al-mu'minun
  24. Surah an-Nur
  25. Surah al-Furqan
  26. Surah as-Syaa'ra
  27. Surah an-Naml 
  28. Surah al-Qhasash
  29. Surah al-Ankabut
  30. Surah ar-Rum
  31. Surah Luqman
  32. Surah as-Sajdah
  33. Surah al-Ahzab
  34. Surah as-Saba
  35. Surah Fathir

Nasehat Imam Syafi'i Untuk Pelajar

اصبر على مر الجفا من معلم *** فإن رسوب العلم في نفراته
ومن لم يذق ذل التعلم ساعة *** تجرع ذل الجهل طول حياته
ومن فاته التعليم وقت شبابه *** فكبر عليه أربعا لوفاته
حياة الفتى – والله – بالعلم والتقى *** إذا لم يكونا لا اعتبار لذاته

Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru.
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya.

Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar,
Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.

Dan barangsiapa ketinggalan belajar di masa mudanya,
Maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya.

Demi Allah hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa.
Bila keduanya tidak ada maka tidak ada anggapan baginya

Teman Baikku

صديقي من صادقني لا من صدقني وعليك بمن ينظر الإفلاس والإبلاس وإياك من يقول لا باس لا باس 

Teman baikku adalah orang yang jujur kepadaku, bukan orang yang suka membenarkanku. Bertemanlah dengan orang yang mengingatkan akan kerugian-kerugian. Dan hati-hatilah terhadap orang yang suka mengatakan: Tidak mengapa… Tidak mengapa…

Akal Dan Ruh

Berkata al-Imam asy-Syafii rahimahullah:
 
كما أن للعين حدا تقف عنده كذلك للعقل حد يقف عنده
 
Sebagaimana mata memiliki keterbatasan yang ia pasti berhenti padanya, maka akal juga memiliki keterbatasan yang ia harus berhenti padanya. (Adabus Syafii)

Sebagai bukti terbatasnya akal, adakah orang yang bisa menjelaskan dimana ruhnya? Atau seperti apa ruhnya?

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
 
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk perintah Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS' al-Isra':85)

Inilah salah satu bukti akal manusia terbatas. Sesuatu yang gaib yang ada dalam tubuhnya saja tidak ada yang mengetahui, kecuali Allah subhanahu wa ta'ala saja. Lalu bagaimana halnya dengan perkara gaib selainnya?

Selasa, 26 November 2013

Biografi Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari (260-324 H)

Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.

Beliau -Abul Hasan Al-Asy'ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 260 H di Bashrah, Irak.

Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.


Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah.

Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as­-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ula­ma thabaqah mereka.

Taubatnya dari aqidah Mu’tazilah
Al-Hafizh Ibnu Asakir ber­kata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al­-Qairawani berkata, ‘Sesungguh­nya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar se­raya mengatakan:

Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama-­sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang batil, maka aku memohon pe­tunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepada­ku yang aku tuliskan dalam kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelum­nya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.
Beliau pun melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab tersebut me­reka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikan­nya sebagai imam.’”

Biografi Al-Imam Asy-Syafi'i (150 - 204 H)

Nasabnya: Beliau adalah Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris yang bersambung nasabnya dengan Hasyim bin Al-Muththolib bin ‘Abdi Manaf Al-Qurosyi Al-Muththolibi.

Kelahiran dan Pertumbuhannya: Beliau lahir di ‘Asqolan pada tahun 150 H, dan tumbuh besar di Makkah. Kemudian tinggal di Mesir, dan meninggal pada hari terakhir bulan Rojab 204 H.

Hapalan Qur’an dan Semangat Beliau dalam menuntut ilmu syar’i:

Al-Muzani berkata: Aku mendengar As-Syafii berkata: “Aku menghapal Al-Qur’an pada umur tujuh tahun, dan aku menghapal Al-Muwaththo (karya Al-Imam Malik) pada umur sepuluh tahun.”
Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Senantiasa semangatku ada dalam dua perkara: memanah dan menuntut ilmu syar’i.”

Seorang imam dalam lughoh (bahasa arab)
Abul Walid Ibnu Abil Jarud berkata: “Dulu dikatakan bahwa Asy-Syafii adalah lughoh itu sendiri yang dijadikan sebagai hujjah.”

Seorang Imam dalam Fiqih
Ahmad bin Ali Al-Jurjani berkata: “Dulu Al-Humaidi jika menyebut Asy-Syafii, dia mengatakan: ‘Telah memberitahukan kepada kami Sayyidnya para ahli fiqih, Al-Imam Asy-Syafii’.”
Yahya bin Said Al-Qoththon berkata: “Tidaklah aku melihat orang yang lebih berakal dan lebih faqih daripada Asy-Syafii.”
Ali bin Al-Madini berkata kepada anaknya: “Jangan engkau meninggalkan satu huruf pun dari ucapan Asy-Syafii untuk ditulis, sesungguhnya dia memiliki ma’rifah (pengetahuan tentang agama).”

Imam dalam Ushul:
Beliaulah yang pertama kali membuat tulisan dalam ushul fiqih sebagai satu ilmu tersendiri.

Pembela hadits:
Harmalah berkata: Aku mendengar Asy-Syafii berkata: “Aku dijuluki di Baghdad sebagai pembela hadits.”

Mujaddid Abad kedua hijriyah
Ahmad bin Hanbal berkata: “Sesungguhnya Allah menakdirkan untuk manusia pada setiap 100 tahun orang yang mengajari mereka sunnah-sunnah Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, dan meniadakan kedustaan atas Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian kami memperhatikan ternyata pada awal tahun seratus adalah Umar bin Abdul Aziz, dan pada awal tahu dua ratus adalah Asy-Syafii.”

Doa para ulama untuk beliau
Ahmad bin Hanbal berkata: “Tidaklah aku melewati malam selama 30 tahun, melainkan aku berdoa kebaikan kepada Allah untuk Asy-Syafii dan memohonkan ampun untuk beliau.”
Abdurrohman bin Mahdi berkata: “Aku tidak menunaikan satu sholat pun melainkan aku mendoakan kebaikan untuk Asy-Syafii di dalam sholat itu.”
Yahya bin Said Al-Qoththon berkata: “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih berakal dan lebih faqih daripada Asy-Syafii. Dan aku berdoa kebaikan kepada Allah untuk beliau, aku khususkan beliau saja dalam setiap sholat.”

Dan keutamaan Al-Imam Asy-Syafii sangatlah banyak dan terkenal sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar. Dan hal itu telah dikumpulkan oleh Ibnu Abi Hatim, Zakariya As-Saji, Al-Hakim, AL-Baihaqi, Al-Harowi, Ibnu Asakir dan lainnya.
(Sumber: Tahdzib Ath-Tahdzib (3/496-500) dengan perubahan susunan)

Biografi Ibnu Hajar Al-'Asqalani (773 – 852 H)

Syaikhul Islam, pemegang bendera sunnah, pemimpin makhluq, Qadhi Al-Qudhat, Abu Al-Fadhl. Ayahnya adalah salah seorang ahli di bidang fiqh, bahasa Arab, qira'ah, dan sastra, cerdas, terhormat dan disegani. Ia pernah menjabat sebagai qadhi, suka menulis, dan profesional dalam hal mengajar dan berfatwa.
Imam Ibnu Hajar dilahirkan pada tanggal 12 Sya'ban 773 H. di Mesir. Ia tumbuh besar di Mesir setelah ibunya meninggal, lalu ia dipelihara oleh bapaknya dengan penuh penjagaan dan perlindungan yang ketat. Bapaknya tidak pernah membawanya ke maktab (tempat belajar anak-anak) kecuali setelah ia berumur lima tahun.


Jenjang Keilmuan Beliau
Ia hapal Al-Qur'an dalam usia sembilan tahun. Ia juga hapal Al-'Umdah, Al-Hawi Al-Shaghir, Mukhtashar Ibnu Hajib Al-Ashli, Mulhah Al-I'rab, dan sebagainya. Yang pertama kali ia tekuni adalah pembahasan kitab Al-'Umdah pada usia masih kecil kepada Al-Jamal bin Zhahirah di Mekkah. Kemudian ia belajar suatu ilmu kepada Al-Shadr Al-Ubsaithi di Kairo. Lalu semangatnya untuk menekuni bidang keilmuan terhenti karena tidak ada yang mendukungnya sampai ia berumur tujuh belas tahun. Kemudian ia belajar dengan tekun kepada salah seorang yang menerima wasiat untuk memeliharanya -yaitu Al-'Allamah Al-Syams bin Al-Qaththan- dalam bidang Fiqh, bahasa Arab, ilmu hitung, dan membaca sebagian besar dari Kitab Al-Hawi. Di samping itu, ia juga belajar fiqh dan bahasa Arab dengan tekun kepada An-Nur Al-Adami. Guru fiqh lainnya adalah Al-Anbasi. Dan selama beberapa saat ia juga belajar fiqh kepada Al-Bulqini dengan menghadiri beberapa kali kuliahnya tentang fiqh dan membaca sebagian besar kitab Al-Raudhah di hadapannya dengan catatan pinggir yang ditulis olehnya. Ia pernah belajar secara khusus kepada Ibnu Al-Mulaqqin dan membaca sebagian besar syarh yang ditulisnya atas kitab Al-Minhaj. Kemudian ia belajar kepada 'Izzuddin bin Jama'ah dalam berbagai cabang ilmu dalam waktu yang cukup panjang, yaitu sejak tahun 790 H sampai Syekh 'Izzuddin wafat pada tahun 819 H. Ia memberi komentar terhadap sebagian syarh Syekh 'Izzuddin atas kitab Jam’ A1-Jawami'. Ia juga menghadiri sejumlah perkuliahan yang disampaikan oleh Al-Hammam Al-Khawarizmi, dan sebagainya. Ia belajar ilmu bahasa kepada Al-Fairuz Abadi, penyusun Al-Qamus Al-Muhith, belajar bahasa Arab kepada Al-Ghumari dan Al-Muhibb bin Hisyam, belajar ilmu qira'at sab'ah kepada Al-Burhan At-Tanukhi, dan menekuni berbagai bidang ilmu hingga mencapai titik puncaknya.

Belajar Ilmu Hadits
Allah menganugerahinya rasa cinta terhadap bidang hadits, sehingga ia memperhatikannya dalam berbagai aspeknya. Ia belajar hadits untuk pertama kalinya pada tahun 793 H. Akan tetapi baru mempelajarinya dengan penuh keseriusan dan kesungguhan pada tahun 796 H. Karena mempelajari hadits itu -menurut pengakuan dalam tulisannya- dapat menghilangkan hijab (penghalang),

Biografi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany


(Nama lengkap beliau)
Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad menyebutkan tentang nama dan masa hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany: “Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailany”. (Lihat Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly)
(Tempat kelahiran beliau)
Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah salah seorang ulama ahlusunnah yang berasal dari negeri Jailan. Kepada negeri inilah beliau dinasabkan sehingga disebut “Al-Jailany”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan.Jailan merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobaristan. Tidak ada satu kota pun terdapat di negeri Jailan kecuali ia hanya merupakan bentuk perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar pegunungan. (Lihat Mu’jam Al-Buldan (4/13-16) Oleh Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah Al-Hamawy)
(Komentar para ulama tentang beliau)
Para ulama memberikan pujian kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany termasuk orang yang berpegang-teguh dengan sunnah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, Qodar, dan semisalnya, bersungguh-sungguh dalam membantah orang yang menyelisihi perkara tersebut. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany berkata dalam kitabnya Al-Ghun-yah yang masyhur: [Allah berada di bagian atas langit, bersemayam di atas Arsy, menguasai kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah naik kata-kata yang baik dan amalan sholeh diangkatnya. Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kalian.Tidak boleh Allah disifatkan bahwa Dia ada di segala tempat. Bahkan Dia di atas langit, di atas Arsy sebagaimana Allah berfirman, “Ar-Rahman (Allah) tinggi di atas Arsy”.

Biografi Imam An-Nawawi (631-676 H)

Nasabnya: 
Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam'ah bin Hizaam An-Nawawi, dinasabkan dengan Kota Nawa sebuah dusun di daerah Hauran, Suria, dari Damaskus sekitar dua hari perjalanan. Beliau seorang bermadzhab Asy-Syafi'i, Syaikhul Madzhab dan seorang fuqaha besar di zamannya.
Lahir di bulan Muharam tahun 631 Hijriyah di desa Nawa dari dua orang tua yang shaleh. Ketika berumur sepuluh tahun mulai menghafal Al-Qur'an dan bacaan-bacaan fiqih pada para ulama di sana.


Keilmuan Beliau
Pada suatu hari ada seorang syaikh yang melewati desa itu, yakni syaikh Yasin bin Yusuf Al-Maraakisyi. Beliau melihat seorang anak yang tidak suka bermain-main. bahkan lari darinya sambil menangis karena tidak sukanya, dan lebih suka membaca Al-Qur'an. Maka pergilah beliau menemui kedua orang tuanya dan menasehatkan supaya anak itu dikhususkan untuk menimba ilmu. Usulan itu pun diterima. Pada tahun 649 Hijriyah diajak bapaknya untuk mendapatkan ilmu yang lebih sempurna di Madrasah Daarul Hadits, dan tinggal di Madrasah Ar-Rawaahiyah yang berada di pojok timur dari masjid Al-Umawi, Damaskus. Dan beliau di sana menghafal kitab At-Tanbiih selama empat setengah bulan, dan hafal seperempat bab ibadah dari Kitab At-Tahdzib sisa tahunnya. Dan dalam waktu yang singkat dapat mengundang kekaguman ustadz beliau Abi Ibrahim Ishaq bin Ahmad Al-Maghribi, dan menjadikannya asisten dalam pelajarannya.

Beliau rahimahullah adalah seorang yang mempunyai wawasan ilmu dan tsaqafah yang luas. Ini dapat dilihat dalam kesungguhannya menimba ilmu. Berkata salah seorang muridnya, yakni 'Ala-uddin Ibnill 'Aththar, bahwa beliau setiap hari mempelajari dua belas pelajaran baik syarahnya maupun tashhihnya pada para syaikh beliau. Dua pelajaran pengantar, satu pelajaran muhadzdzab (sopan santun), satu pelajaran gabungan dari dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim), satu pelajaran tentang shahih Muslim, satu pelajaran kitab Al Lam'u oleh Ibnu Jinni dalam pelajaran nahwu, satu pelajaran dalam lshlahul Manthiq oleh Ibnu As Sikiit dalam pelajaran bahasa, satu pelajaran sharaf, satu pelajaran Ushul Fiqh, dan kadang kitab Al-Lam 'u oleh Abi Ishaq dan kadang Al-Muntakhab oleh Fakhrur Raazi; dan satu pelajaran tentang Asma'u Rijal, satu pelajaran Ushuluddin, dan adalah beliau menulis semua hal yang bersangkutan dengan semua pelajaran ini, baik mengenai penjelasan kemusykilannya maupun penjelasan istilah serta detail bahasanya.

Beliau adalah seorang yang tekun dan telaten dalam mudzakarah dan belajar siang dan malam, selama sekitar dua puluh tahun hingga mencapai puncaknya. Dan beliau tidak makan kecuali sekali saja yakni ketika sahur. Beliau seorang yang banyak melakukan shaum dan belum beristri.

Hasilnya tampak jelas ketika beliau mulai mengarang kitab tahun 660 H. Ketika itu beliau berumur 30 tahun. Sebagian karangan beliau yang paling penting adalah Syarh Shahih Muslim, Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Riyaadhush Shalihin, Al-Adzkar, Tahdzibul Asma' wa Al-Lughaat, Arba’iin An-Nawawiyah dan Minhaaj fil Fiqhi.

Senin, 25 November 2013

Malu Pada Siapa?


إَذَا مَا قَالَ لِي رَبِّي أَمَا اسْتَحْيَيْتَ تَعْصِيْنِي ..؟

Jika (di akhirat) Robku berkata kepadaku : "Apa engkau tidak malu bermaksiat kepadaku?"

وَتُـخْفِي الذَّنْبَ عَنْ خَلْقِي وَبِالْعِصْيَانِ تَأْتِيْنِي

Engkau menyembunyikan dosamu dari makhlukKu, sedangkan engkau menemuiKu dengan membawa kemaksiatan?"

فَكَيْف أُجِيْبُ يَا وَيْحِي وَمَنْ ذَا سَوْفَ يَحْمِيْني؟

Maka bagaimana aku menjawab?? Sungguh celaka diriku siapakah yang akan membelaku??

أُُسَلِّي النَّفْسَ بِالآمَالِ مِنْ حينٍ إِلَى حِيْنِي...

Kuhibur diriku dengan harapan dan angan-angan dari waktu ke waktu hingga saat ini…

Jumat, 22 November 2013

Ku Titip Surat Ini Untukmu

Segala puji bagi Allah… yang telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga.
Shalawat serta salam hamba -yang lemah ini- panjatkan keharibaan Nabi yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…
Ibu…
Aku terima suratmu yang engkau tulis dg tetesan air mata dan duka… aku telah membaca semuanya… tidak ada satu huruf pun yang aku sisakan.
Tapi tahukah engkau, wahai Ibu… bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’… Semenjak sholat isya’… aku duduk di pintu kamar, aku buka surat yang engkau tuliskan untukku… dan aku baru selesaikan membacanya setelah ayam berkokok… setelah fajar terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan…
Sebenarnya, surat yang engkau tulis tersebut, jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah… Jika engkau letakkan di atas daun yang hijau, tentu dia akan kering…

Sebenarnya, surat yang engkau tulis tersebut tidak akan tertelan oleh ayam… Sebenarnya, wahai ibu, suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan, yang jika dipecutkan ke pohon yang besar, dia akan rebah dan terbakar…

Suratmu wahai ibu, bagaikan awan Kaum Tsamud, yang datang berarak dan telah siap dimuntahkan kepadaku…

Ibu…

Aku telah baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!! Bagaimana tidak… Jika surat itu ditulis oleh seorang yang bukan ibu dan bukan ditujukan pula kepadaku, layaklah orang yang paling bebal, untuk menangis sejadi-jadinya… Bagaimana kiranya, jika yang menulis itu adalah ibuku sendiri… dan surat itu ditujukan untukku sendiri…

Sungguh aku sering membaca kisah sedih, tidak terasa bantal yang dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata… Bagaimana pula dg surat yang ibu tulis itu!? bukan cerita yang ibu karang, atau sebuah drama yang ibu perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yang ibu rasakan.

Ibuku yang kusayangi…

Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yang engkau telah sebutkan benar adanya…

Nasehat Ali bin Abi Thalib Pada Muridnya

Ali radhiallahu ‘anhu berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad,
 
يا كميل بن زياد القلوب أوعية فخيرها أوعاها للعلم احفظ ما أقول لك الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل نجاة وهمج رعاع اتباع كل ناعق يميلون مع كل ريح لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجئوا إلى ركن وثيق

“Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Camkanlah baik-baik apa yang akan kusampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari 3 kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yang kuat.”  

(Hilyah al-Auliya 1/70-80).

Doa Memohon Akhlaq Mulia

Dari Ali bin Abi Tholib Radhiyallohu'anhu Rosulullah Sholallohu'alaihi wasallam dalam salah satu do'anya beliau mengucapkan :

  الَّلهُمَّ اهْدِنِيْ لِأَ حْسَنِ الأَخْلاَ قِ، فَاِنّهُ لاَ يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا اِلاَّ أَنْتَ،
وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَا لَا يَسْرِفُ عَنِّىْ سَيِّئَهَا اِلَّا اَنْتَ

"Ya Alloh... tunjukanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukannya selain engkau. Ya Alloh... Jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain engkau".

(HR. Muslim 771, Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419)

Cara Allah Mengampuni Dosa HambaNya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641)