Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Menyembelih qurban adalah sesuatu yang disyari’atkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ (konsensus kaum muslimin).[1] Namun apakah menyembelih tersebut wajib ataukah sunnah? Di sini para ulama memiliki beda pendapat.
Pendapat pertama: Diwajibkan bagi orang yang mampu
Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu
pendapatnya, Rabi’ah, Al Laits bin Sa’ad, Al Awza’i, Ats Tsauri, dan
Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.
Di antara dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berkurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Hadits ini menggunakan kata perintah dan asal perintah adalah wajib. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwajibkan hal ini, maka begitu pula dengan umatnya.[2]
Yang menunjukkan wajibnya pula adalah hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Pendapat kedua: Sunnah dan Tidak Wajib
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah mu’akkad.
Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat
yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf
(murid Abu Hanifah). Pendapat ini juga adalah pendapat Abu Bakr, ‘Umar
bin Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin Ghafalah, Sa’id
bin Al Musayyab, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul
Mundzir.
Di antara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin
menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari
rambut dan kukunya.”[3] Yang dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu sendiri.
Hadits ini mengatakan, “dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini
dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka
cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”, tanpa disertai adanya kemauan.
Begitu pula alasan tidak wajibnya karena Abu Bakar dan ‘Umar tidak
menyembelih selama setahun atau dua tahun karena khawatir jika dianggap
wajib[4].
Mereka melakukan semacam ini karena mengetahui bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mewajibkannya. Ditambah lagi
tidak ada satu pun sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. [5]
Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat kedua
(pendapat mayoritas ulama) yang menyatakan menyembelih qurban sunnah dan
tidak wajib. Di antara alasannya adalah karena pendapat ini didukung
oleh perbuatan Abu Bakr dan Umar yang pernah tidak berqurban. Seandainya
tidak ada dalil dari hadits Nabi yang menguatkan salah satu pendapat di
atas, maka cukup perbuatan mereka berdua sebagai hujjah yang kuat bahwa
qurban tidaklah wajib namun sunnah (dianjurkan).
فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا
“Jika kalian mengikuti Abu Bakr dan Umar, pasti kalian akan mendapatkan petunjuk.”[6]
Namun sudah sepantasnya seorang yang telah berkemampuan untuk
menunaikan ibadah qurban ini agar ia terbebas dari tanggung jawab dan
perselisihan yang ada. Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan,
“Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk
menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu dan ambil perkara yang tidak meragukanmu.” Selayaknya
bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan
berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan. Wallahu a'lam.”[7]
footenote:
[1] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 5/75.
[2] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 5/77.
[3] HR. Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah.
[4] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 1139 menyatakan bahwa riwayat ini shahih.
[5] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 5/76-77.
[6] HR. Muslim no. 681.
[7] Adhwa-ul Bayan fii Iidhohil Qur’an bil Qur’an, hal. 1120, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah Beirut, cetakan kedua, tahun 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar