Saya ambilkan fatwa dari orang yang kita
tidak berselisih tentangnya : Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullah.
Beliau pernah
ditanya tentang Pemilu di Kuwait dimana telah diketahui/terbukti bahwa
mayoritas orang yang mengikuti Pemilu itu adalah kaum muslimin dan para aktifis
dakwah yang kemudian terfitnah agamanya (ما حكم الانتخابات الموجودة في الكويت , علماً بأن أغلب من
دخلها من الإسلاميين ورجال الدعوة فتنوا في دينهم).
أنا أرى أن الانتخابات واجبة, يجب أن نعين من نرى
أن فيه خيراً, لأنه إذا تقاعس أهل الخير من يحل محلهم؟ أهل الشر, أو الناس السلبيون
الذين ليس عندهم لا خير ولا شر, أتباع كل ناعق, فلابد أن نختار من نراه صالحاً
"Aku
berpendapat bahwasannya Pemilu itu wajib. Kita
wajib memilih orang yang kita pandang padanya terdapat kebaikan. Hal itu karena
apabila orang-orang mundur, siapakah yang akan menempati tempat mereka ?.
Orang-orang jelek/jahat dan orang-orang tak punya pendirian yang tidak memiliki
kebaikan ataupun kejelekan, yang mengikuti setiap seruan. Maka sudah seharusnya
kita memilih orang yang kita pandang shaalih.....dst. [dari pertemuan terbuka,
kaset no. 2011; selengkapnya silakan baca : sini].
Begitu juga dengan
Lajnah Daaimah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah
ditanya : "Bolehkah ikut mencoblos dalam Pemilu dan mencalonkan diri
padanya dimana negeri kami ini masih berhukum dengan selain hukum Allah ? (هل يجوز التصويت في الانتخابات والترشيح لها ؟مع العلم أن
بلادنا تحكم بغير ماأنزل الله) ?.
Setelah memaparkan
ketidakbolehan mencalonkan diri dalam rangka turut serta dalam aturan yang
berhukum dengan selain hukum Allah, dan memilih orang yang akan menyukseskan
hukum selain hukum Allah; maka Lajnah berkata :
إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون
يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام
واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم على ألا يعمل من رشح نفسه تمام
الدخول إلى مناصب لا تتنافي مع الشريعة الإسلامية
"Kecuali apabila orang yang mencalonkan
dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang
itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at
Islam, dan menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan
(pemerintahan), (maka hal ini diperbolehkan). Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan
dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang
tidak berlawanan dengan syari'at Islam" [baca : sini ].
Saya, Anda, rekan
Anda, atau ustadz Anda boleh saja tidak sependapat dengan fatwa di atas karena
merajihkan pendapat kebalikannya. Tapi inilah realitas pendapat yang beredar di
kalangan ulama.
Fatwa yang semacam
ini banyak dikeluarkan oleh para ulama kita yang kesemuanya berujung pada
pertimbangan maslahat dan mafsadat. Barangsiapa yang melihat ada maslahat yang
lebih besar, maka partisipasi itu diperbolehkan. Dan sebaliknya, barangsiapa
yang melihat mafsadat lebih banyak, maka partisipasi itu menjadi larangan.
Pemilu atau
mencalonkan diri dalam parlemen adalah masalah ijtihadiy dari para ulama
kita. Ia bukanlah masalah yang menjadi (salah satu) garis pemisah antara
Ahlus-Sunnah dan non-Ahlus-Sunnah. Ia juga seharusnya bukan menjadi masalah
yang menjadi asas kita mencela satu dengan yang lainnya.
Jadi,.....
mungkinkah seorang salafiy nyoblos Pemilu ?. Jawabnya mungkin. Mungkinkah
seorang salafiy masuk dalam parlemen ?. Jawabnya mungkin.
Lantas apa bedanya
dengan harakiy atau hizbiy kalau begitu ?. Menilik penjelasan di
atas, benang merah pembedanya adalah bahwasannya seorang Salafiy yang (mungkin)
ikut Pemilu dan berparlemen hanyalah menginginkan kebaikan semata, mewujudkan
kemaslahatan, dan mengecilkan atau bahkan menghilangkan mafsadat. Ia tidak
berloyalitas kecuali pada kebenaran.
Terakhir,... mari
kita simak penjelasan Asy-Syaikh As-Sadlaan (anggota haiah kibar ulama Saudi) :
لابد من التأكد من كون المسألة معلومة من الدين
بالضرورة، لأن استقرار رجوح مسألة في الذهن لدى الإنسان يجعله يتحمس لها ويعطيها
أكبر من حجمها، ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية فقد
تشدد ويعتبر هذا الموضوع معلوماً من الدين بالضرورة، ويعادي المخالف، وقد يتأول أن
هذا نوع من الولاء لغير المسلم - أي دخول الانتخابات - والمسألة فيها سعة وليست
بهذا الضيق الاجتهادي
“Harus benar-benar
dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib
diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih
(kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam mempertahankannya
hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang
tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang mereka
bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama yang
wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang yang
menyelisihinya, dan terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam
pemilihan umum sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal
sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini
(yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat” [Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf :
Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar
Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyaadl].
Semoga catatan
kecil ini bermanfaat.
Wallaahu a’lam.
Baca juga : Pemilu - Satu Pilihan yang
Ekstra Sulit.
[abul-jauzaa’ –
ngaglik, sardonoharjo, sleman, yogyakarta].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar