Laman

Jumat, 31 Januari 2014

Belajar Dari Do'a Nabi Musa

Dalam Alquran, Allah menyebutkan beberapa doa yang dipanjatkan Musa. Doa-doa itu beliau panjatkan dalam setiap kesempatan yang berbeda. Namun ada satu doa yang sangat menakjubkan, doa yang mengobati sekian banyak kegelisahan yang dialami oleh Musa,

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat membutuhkan setiap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qashas: 24).

Anda bisa perhatikan surat al-Qashas, Allah menceritakan Musa dari ayat 3 hingga ayat 43. Doa ini diucapkan Musa ketika beliau berada di kondisi serba susah. Diliputi rasa cemas dan ketakutan. Bagi orang awam, keadaan itu mungkin sudah dianggap puncak ujian, seolah tidak ada lagi harapan untuk hidup.

1. Firaun menjajah habis bani Israil
2. Membantai setiap bayi lelaki, dan membiarkan hidup bayi perempuan
3. Firaun membuat lemah setiap sendi kehidupan bani Israil, seolah tidak ada harapan untuk bisa bangkit memperjuangkan kemerdekaannya.
4. Allah perintahkan ibunya Musa untuk melabuhkan anaknya ke sungai.
5. Musa diasuh oleh keluarga Firaun. Musa kecil tumbuh di tengah-tengah calon musuhnya.
6. Setelah besar, Musa melarikan diri dari kerajaan Firaun. Musa membunuh pengikut Firaun ketika berusaha membantu lelaki bani Israil yang rebutan air dengan korban.
7. Musa menjadi ketakutan di kota Mesir, karena telah membunuh pengikut Firaun. Bahkan datang seorang informan, bahwa para pemimpin pasukan Firaun telah bersepakat untuk membunuh Musa.
8. Musa keluar mesir dengan penuh ketakutan, beliau berjalan ke arah Madyan.
9. Di tengah perjalanan beliau menjumpai dua wanita yang mengantri untuk mengambil air untuk ternaknya, namun mereka tidak mampu melakukannya. Kemudian dibantu Musa.

Di saat itulah, Musa merasa sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan. Tapi tiada lagi tempat

Kamis, 30 Januari 2014

Shalat Rawatib Setelah Shalat Jum'at

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari – rahimahullah – (no. 1165) dan Muslim – rahimahullah (no. 729) dari hadits Ibnu ’Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين قبل الظهر، وركعتين بعد الظهر، وركعتين بعد الْجُمعة، وركعتين بعد الْمَغرب، وركعتين بعد العشاء
“Aku pernah melaksanakan shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at sebelum shalat Dhuhur, dua raka’at setelah shalat Dhuhur, dua raka’at setelah shalat Jum’at, dua raka’at setelah shalat Maghrib, dan dua raka’at setelah shalat ‘Isya’”.
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 882) dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إذا صلى أحدكم الْجُمعة؛ فليصل بعدها أربعًا
“Apabila salah seorang di antara kalian melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaknya ia shalat (sunnah) setelahnya sebanyak empat raka’at.

أن النَّبِي صلى الله عليه وسلم كان لا يصلي بعد الْجُمعة حَتَّى ينصرف فيصلي ركعتين فِي بيته
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melaksanakan shalat (sunnah) setelah shalat Jum’at hingga ia beranjak dari tempatnya. Maka beliau melaksanakan shalat (sunnah) dua raka’at di rumahnya”.
Telah berkata Ibnu Rajab rahimahullah - : ”Para ulama telah berbeda pendapat dalam penggabungan (hukum yang terambil) antara hadits Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah”. Pendapat-pendapat tersebut dapat diuraikan di bawah :

Minggu, 26 Januari 2014

Sempurnakan Separuh Agamamu, Dengan..

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نِصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” 
(HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman.)

Al Mula ‘Ali Al Qori rahimahullah dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih berkata bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambertakwalah pada separuh yang lainnya”, maksudnya adalah bertakwalah pada sisa dari perkara agamanya. Di sini dijadikan menikah sebagai separuhnya, ini menunjukkan dorongan yang sangat untuk menikah.

Al Ghozali rahimahullah (sebagaimana dinukil dalam kitab Mirqotul Mafatih) berkata, “Umumnya yang merusak agama seseorang ada dua hal yaitu kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga diri dari salah satunya. Dengan nikah berarti seseorang membentengi diri dari godaan syaithon, membentengi diri dari syahwat (yang menggejolak) dan lebih menundukkan pandangan.”

Asal Kata Ilmu "An-Nahwu"

Bahasa Arab terkenal dengan dua cabang ilmu yaitu nahwu dan sharaf (meskipun ada cabang yang lain). Sejarah penggunaan kata “nahwu” sebagai berikut: 

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah yang pertama kali mencetus ilmu Bahasa Arab, beliau menyusun pembagian kalimat, bab inna wa akhowatuha, idhofah, imalah, ta’ajjub, istifham dan lain-lain, kemudian memerintahkan kepada Abul Aswad Ad-Dualiy untuk mengembangkan sambil berkata,

انح هذا النحو

“Unhu hadzan nahwa!” (ikutilah yang semisal ini),

maka istilah ilmu Nahwu diambil dari perkataan Ali bin Abi Thalib.” 

Jumat, 24 Januari 2014

Shalat Dhuha Berjama'ah, Bolehkah???

ada beberapa riwayat yang menunjukkan  bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan sebagian sahabat melaksanakan shalat dhuha berjamaah, diantaranya:

Pertama, hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ’anhu, beliau bercerita: “Ada seorang laki-laki dari anshar berkata (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam): “Saya tidak bisa shalat bersama Anda.” Dalam lanjutan hadis dinyatakan:

فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا، فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا، وَنَضَحَ طَرَفَ الحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ

Kemudian beliau membuat makanan untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan mengundang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam agar datang ke rumahnya. Dihamparkan tikar dan beliau memerciki bagian ujung-ujungnya dengan air, kemudian shalat dua rakaat di atas tikar tersebut.” Ada seseorang dari keluarga Al Jarud bertanya kepada Anas: “Apakah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan shalat dhuha?” jawab Anas: “Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan dhuha kecuali hari itu.” (HR. Bukhari No.670).

Hadis ini dibawakan oleh Bukhari dalam bab: “Apakah Imam shalat bersama orang yang tidak bisa berjamaah.” Karena zahir hadis menunjukkan bahwa beliau mengerjakannya berjamaah dengan orang Anshar tersebut.

Al Hafidz Al-Aini menyebutkan beberapa pelajaran penting dari hadis ini. Diantara yang beliau sebutkan adalah bolehnya mengerjakan shalat sunah secara berjamaah. (Umdatul Qori, 5:196).

Kedua, riwayat dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Uthbah, beliau megatakan:

دخلت على عمر بن الخطاب بالهاجرة، فوجدته يسبح، فقمت وراءه، فقربني حتى جعلني حذاءه عن يمينه، فلما جاء (يرفأ) تأخرت فصففنا وراءه

“Aku masuk menemui Umar di waktu matahari sedang terik, ternyata aku melihat beliau sedang shalat sunah, lalu aku berdiri di belakangnya dan beliau menarikku sampai aku sejajar dengan pundaknya di sebelah kanan. Ketika datang Yarfa’ (pelayan Umar) aku mundur dan membuat shaf di belakang Umar radhiallahu ’anhu.” (HR. Malik dalam Al Muwatha’ 523 dan dishahihkan Syaikh Al Albani di As Shahihah catatan hadis 2590).

Hadis ini dimasukkan Imam Malik dalam Bab Shalat Dhuha. Karena yang dimaksud waktu matahari sedang terik dalam hadis di atas, dipahami sebagai waktu dhuha. Berdasarkan hadis ini, Ibn Habib menyatakan bolehnya orang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah dengan tiga syarat:  dilakukan sewaktu-waktu pada hari tertentu (tidak ditentukan harinya), tidak ada kesepakatan sebelumnya, dan tidak menjadi amalan yang dilakukan oleh banyak orang (terkenal di semua kalangan). (Al-Muntaqa Syarh Al Muwatha’ 1:274).

Dengan demikian, shalat dhuha berjamaah dibolehkan dengan beberapa persyaratan berikut:
  1. Dilakukan kadang-kadang (tidak dijadikan kebiasaan)
  2. Tidak terikat hari, waktu, atau moment tertentu. Misalnya: dilaksanakan setiap  selapan sekali (misalnya: setiap jum’at pon). Ketentuan hari semacam ini tidak dibolehkan.
  3. Tidak ada kesepakatan sebelumnya, atau tidak ada pengumuman kepada masyarakat.
  4. Tidak menjadi amalan yang menjamur dan banyak dilakukan masyarakat.
  5. Jumlah orang yang ikut berjamaah sedikit. Sehingga tidak boleh melaksanakan shalat dhuha  berjamaah satu kampung, sebagaimana shalat fardhu.
  6. Tidak dilaksanakan bersama-sama di masjid.
Wallahu a’lam.

Disarikan Dari:  http://www.konsultasisyariah.com/shalat-dhuha-berjamaah/

Rabu, 22 Januari 2014

Beda Jin, Iblis dan Setan

Dari: Riski
Jawaban:

Jin
Jin adalah salah satu jenis makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki sifat fisik tertentu, berbeda dengan jenis manusia atau malaikat.
Jin diciptakan dari bahan dasar api, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ (14) وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ(15)
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (QS. Ar-Rahman: 14 – 15)
Jin memiliki kesamaan dengan manusia dalam dua hal:
a. Jin memiliki akal dan nafsu, sebagaimana manusia juga memiliki akal dan nafsu.
b. Jin mendapatkan beban perintah dan larangan syariat, sebagaimana mausia juga mendapatkan beban perintah dan larangan syariat.
Oleh karena itu, ada jin yang muslim dan ada jin yang kafir. Ada jin yang baik dan ada jin yang jahat. Ada jin yang pintar masalah agama dan ada jin yang bodoh. Bahkan ada jin Ahlussunnah dan ada jin pengikut kelompok sesat, dst.
Sedangkan perbedaan jin dengan mansuia yang paling mendasar adalah dari asal penciptaan dan kemampuan bisa kelihatan dan tidak.
Makhluk ini dinamakan jin, karena memiliki sifat ijtinan (Arab: اجتنان), yang artinya tersembunyi dan tidak kelihatan. Manusia tidak bisa melihat jin dan jin bisa melihat manusia. Allah berfirman,
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu di suatu keadaan yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27)

Setan
Untuk memahami setan, satu prinsip yang harus Anda pegang: Jin itu makhluk dan setan itu sifat. Karena setan itu sifat, maka dia melekat pada makhluk dan bukan berdiri sendiri.
Setan adalah sifat untuk menyebut setiap makhluk yang jahat, membangkang, tidak taat, suka membelot, suka maksiat, suka melawan aturan, atau semacamnya.
Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan,
الشيطان في لغة العرب يطلق على كل عاد متمرد
“Setan dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut setiap makhluk yang menentang dan membangkang.” (Alamul Jinni was Syayathin, Hal. 16).
Dinamakan setan, dari kata; syutun (Arab: شطون) yang artinya jauh. Karena setan dijauhkan dari rahmat Allah. (Al-Mu’jam Al-Wasith, kata: الشيطان)
Kembali pada keterangan sebelumnya, karena setan itu sifat maka kata ini bisa melekat pada diri manusia dan jin. Sebagaimana penjelasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ada setan dari golongan jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, setelah menjelaskan sifat-sifat setan,
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
(setan yang membisikkan itu) dari golongan jin dan mausia.” (QS. An-Nas: 6).

Iblis
Siapakah iblis? Iblis adalah nama salah satu jin yang menjadi gembongnya para pembangkang. Dalil bahwa iblis dari golongan jin adalah firman Allah,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
Ingatlah ketika Kami berkata kepada para maialakt, ‘Sujudlah kallian kepada Adam!’ maka mereka semua-pun sujud kecuali Iblis. Dia dari golongan jin dan membangkang dari perintah Allah.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Iblis juga memiliki keturunan, sebagaimana umumnya jin lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
Iblis itu dari golongan jin, dan dia membangkang terhadap perintah Rab-nya. Akankah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai kekasih selain Aku, padahal mereka adalah musuh bagi kalian…” (QS. Al-Kahfi: 46)
Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Meluruskan dan merapatkan shaff

1.    Hadist An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُسَوِّيْ صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّيْ بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ثُمَّ خَرَجَ يَوْماً فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِياً صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ عِبَادَ اللهِ لَتُسَوُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf-shaf kami (para shahabat) seolah-olah beliau meluruskan ‘qadah[ Kayu untuk anak panah ketika dipahat dan diasah menjadi anak panah.] sehingga beliau yakin bahwa kami telah menyadari kewajiban kami (untuk meluruskan shaf).  Suatu hari, ketika beliau  shallallaahu ‘alaihi wasallam sudah hendak takbir, tiba-tiba beliau melihat salah seorang diantara kami membusungkan dadanya ke depan melebihi shaf.  Maka beliau bersabda : “Hendaknya kalian meluruskan shaf-shaf kalian, kalau tidak Allah akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih” [HR. Muslim no. 436].
2.    Hadits Anas bin Malik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam :
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ. (وَفِيْ لَفْظٍ : فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ)
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf-shaf termasuk menegakkan shalat (berjama’ah)”. Dan dalam lafadh lain : “…karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat (berjama’ah)” [HR. Al-Bukhari no. 690 dan Muslim no. 433].
3.    Hadits An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
أَقْبَلَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ ثَلاثاً وَاللهِ لَتُقِيْمُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ قَالَ فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ
Rasulullah  shalallaahu ‘alaihi wasallam pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : “Tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian.  Demi Allah, bila kalian tidak menegakkan shaf kalian, maka Allah akan mencerai-beraikan hati kalian”. An-Nu’man berkata : “Aku saksikan sendiri, masing-masing diantara kami saling menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya” [HR. Abu Dawud no. 662 dengan sanad shahih]
4.    Atsar dari Nafi’ Maula Ibni ‘Umar bahwasannya ia menceritakan :
كان عمر يبعث رجلا يقوم الصفوف ثم لا يكبر حتى يأتيه فيخبره أن الصفوف قد اعتدلت
”Adalah ’Umar (bin Al-Khaththab) radliyallaahu ’anhu menugaskan seseorang untuk mengatur shaff-shaff. Tidaklah ’Umar mulai bertakbir hingga ia (orang yang ditugaskan tersebut) kembali dan mengkhabarkan bahwasannya shaff-shaff telah lurus” [Diriwayatkan oleh ’Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 2437 dan 2439].

Susunan Shaf dalam Shalat

Hadits dari Abu Mas’ud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لِيَلِنِيْ مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Hendaklah yang ada di belakangku (shaf pertama bagian tengah belakang imam) adalah kalangan orang dewasa yang berilmu.  Kemudian diikuti oleh mereka yang lebih rendah keilmuannya.  Kemudian diikuti lagi oleh kalangan yang lebih rendah keilmuannya” [HR. Muslim no. 432].

Selasa, 21 Januari 2014

Kisah Ulama Salaf Menuntut Ilmu

Kisah-kisah nyata berikut ini sebagian besar disarikan dari kitab alMusyawwaq ilal Qiro-ah wa tholabil ‘ilm karya Ali bin Muhammad al-‘Imran.

KESABARAN DAN KESUNGGUHAN MENUNTUT ILMU

Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata : Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu haditssekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku.

BELAJAR SETIAP HARI

Al-Imam anNawawy setiap hari membaca 12 jenis ilmu yang berbeda (Fiqh, Hadits, Tafsir, dsb..)

MEMBACA KITAB SEBAGAI PENGUSIR KANTUK

Ibnul Jahm membaca kitab jika beliau mengantuk, pada saat yang bukan semestinya. Sehingga beliau bisa segar kembali.

BERUSAHA MENDAPATKAN FAIDAH ILMU MESKI DI KAMAR MANDI

Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) jika akan masuk kamar mandi berkata kepada orang yang ada di sekitarnya: Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di kamar mandi.

40 TAHUN TIDAKLAH TIDUR KECUALI KITAB BERADA DI ATAS DADANYA

Al-Hasan alLu’lu-i selama 40 tahun tidaklah tidur kecuali kitab berada di atas dadanya.

TIDAKLAH BERJALAN KECUALI BERSAMANYA ADA KITAB

Al-Hafidz alKhothib tidaklah berjalan kecuali bersamanya kitab yang dibaca, demikian juga Abu Nu’aim alAsbahaany (penulis kitab Hilyatul Awliyaa’)

MENJUAL RUMAH UNTUK MEMBELI KITAB

Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy

KEMAMPUAN MEMBACA YANG LUAR BIASA

Ibnul Jauzy  sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab
Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3 majelis ( 3 malam), setiap malam mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda sholat)
Catatan : Shahih alBukhari terdiri dari 7008 hadits, sehingga rata-rata dalam satu kali majelis (satu malam) dibaca 2336 hadits.

Senin, 20 Januari 2014

Sayangi Anak-Anak

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani


Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

“Sesungguhnya Allah hanya akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.” (HR. Bukhari)
 
Abu Hurairah –semoga Allah meridhoinya- berkata :

قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin 'Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro' bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro' berkata, "Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampun melihat kepada Al-'Aqro' lalu beliau berkata, "Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati" (HR Al-Bukhari no 5997 dan Muslim no 2318)

 dari 'Aisyah –semoga Allah meridhoinya- ia berkata :

جَاءَ أَعْرَابِى إِلَى النَّبِى صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : تُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ ، فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِى صلى الله عليه وسلم أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

"Datang seorang arab badui kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki?, kami tidak mencium mereka". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa rahmat/sayang dari hatimu" (HR Al-Bukhari no 5998 dan Muslim no 2317)

 Anas Bin Malik –semoga Allah meridhoinya- berkata :

«مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»، قَالَ: «كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِينَةِ، فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ، وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا، فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ، ثُمَّ يَرْجِعُ»

"Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih sayang kepada anak-anak dari pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Putra Nabi (yang bernama) Ibrahim memiliki ibu susuan di daerah Awaali di kota Madinah. Maka Nabipun berangkat (*ke rumah ibu susuan tersebut) dan kami bersama beliau. lalu beliau masuk ke dalam rumah yang ternyata dalam keadaan penuh asap. Suami Ibu susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Nabipun mengambil Ibrahim lalu menciumnya, lalu beliau kembali" (HR Muslim no 2316)

Rabu, 15 Januari 2014

Keunikan Hajar Aswad

Hajar Aswad merupakan batu termulia. Dia berasal dari Jannah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

نَزَلَ الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ

"Hajar Aswad turun dari Jannah, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa anak Adamlah yang membuatnya sampai berwarna hitam" [1].

Tentang keutamaannya yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ِإنَّ لِهَذَا الْحَجَرِ لِساَناً وَ شَفَتَيْنِ يَشْهَدُ لِمَنْ اسْتَلَمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَقٍّ

"Sesungguhnya batu ini akan punya lisan dan dua bibir akan bersaksi bagi orang yang menyentuhnya di hari Kiamat dengan cara yang benar" [2].

Dari Ibnu ‘Umar, saya mendengar Rasulullah bersabda:

إِنَّ مَسْحَهُمَا يَحُطَّانِ الْخَطِيئَةَ

"Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) akan menghapus dosa".[3]

Hajar Aswad, dahulu berbentuk satu bongkahan. Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada tahun 317H, pada masa pemerintahan al Qahir Billah Muhammad bin al Mu’tadhid dengan cara mencongkel dari tempatnya, Hajar Aswad kini menjadi delapan bongkahan kecil. Batu yang berwarna hitam ini berada di sisi selatan Ka’bah.[4]

 Footnotes
[1]. Hadits shahih riwayat at Tirmidzi. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877.
[2]. HR al Hakim dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan al Albani. Lihat Shahihul-Jami', no. 2184.
[3]. Hadits shahih riwayat an Nasaa-i. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[4]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/187.

Senin, 13 Januari 2014

Tanda2 Orang Bodoh

Abu Darda’ radhiyallahu anhu berkata: “Tanda orang bodoh itu ada 3 (tiga), yaitu:

1. Bangga diri.
2. Banyak bicara dalam hal yg tidak bermanfaat.
3. Melarang orang lain dari suatu perbuatan, namun ia sendiri melakukannya.”

(Lihat ‘Uyuunu Al-Akhbaar, karya Ibnu Qutaibah II/39)

Selasa, 07 Januari 2014

Saat Pemimpin Minta Dipilih

عن عبد الرحمن بن سمرة رضي الله عنه قال: قال لي رسول الله صلّى الله عليه وسلم: "يا عبد الرحمن بن سمرة، لا تسأل الإمارة، فإنك إن أوتيتها عن مسألة وكِّلت إليها، وإن أوتيتها عن غير مسألة أُعِنْتَ عليها. وإذا حلفت على يمين فرأيت غيرها خيراً منها، فائْتِ الذي هو خير، وكفِّر عن يمينك" متفق عليه

Dari ‘Abdurrahman bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah berkata kpadaku Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai ‘Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan kepemimpinan. Karena sesungguhnya jika engkau diberikan karena memintanya, maka jabatan tersebut akan sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya. Jika engkau bersumpah dengan satu sumpah dimana saat itu engkau melihat hal lain yang lebih baik (dari sumpahmu itu), maka ambilah yang lebih baik itu dan tebuslah sumpahmu” [Muttafaqun ’alaihi]

Sukses Menurut Siapa ?


Sukses menurut masyarakat, tidak jauh dari seputar: banyak harta, punya jabatan, anak-anaknya bertitel, menantunya juga kaya, bertitel, punya jabatan dan sebagainya. Semuanya serba bendawi.

Itu mirip dengan sukses menurut Qorun dan orang-orang yang sependapat dengannya:

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ(79)

Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al-Qashash: 79).

Pandangan Qorun dan sebangsanya itu sangat tercela:

وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ(80)فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ(81)وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ(82) تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ(83)مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(84)إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ مَنْ جَاءَ بِالْهُدَى وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ(85)

Soal Pemilu


Saya ambilkan fatwa dari orang yang kita tidak berselisih tentangnya : Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullah.
Beliau pernah ditanya tentang Pemilu di Kuwait dimana telah diketahui/terbukti bahwa mayoritas orang yang mengikuti Pemilu itu adalah kaum muslimin dan para aktifis dakwah yang kemudian terfitnah agamanya (ما حكم الانتخابات الموجودة في الكويت , علماً بأن أغلب من دخلها من الإسلاميين ورجال الدعوة فتنوا في دينهم). 

Maka jawab beliau (saya kutip kalimat intinya) :
أنا أرى أن الانتخابات واجبة, يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً, لأنه إذا تقاعس أهل الخير من يحل محلهم؟ أهل الشر, أو الناس السلبيون الذين ليس عندهم لا خير ولا شر, أتباع كل ناعق, فلابد أن نختار من نراه صالحاً
"Aku berpendapat bahwasannya Pemilu itu wajib. Kita wajib memilih orang yang kita pandang padanya terdapat kebaikan. Hal itu karena apabila orang-orang mundur, siapakah yang akan menempati tempat mereka ?. Orang-orang jelek/jahat dan orang-orang tak punya pendirian yang tidak memiliki kebaikan ataupun kejelekan, yang mengikuti setiap seruan. Maka sudah seharusnya kita memilih orang yang kita pandang shaalih.....dst. [dari pertemuan terbuka, kaset no. 2011; selengkapnya silakan baca : sini].
Begitu juga dengan Lajnah Daaimah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : "Bolehkah ikut mencoblos dalam Pemilu dan mencalonkan diri padanya dimana negeri kami ini masih berhukum dengan selain hukum Allah ? (هل يجوز التصويت في الانتخابات والترشيح لها ؟مع العلم أن بلادنا تحكم بغير ماأنزل الله) ?.
Setelah memaparkan ketidakbolehan mencalonkan diri dalam rangka turut serta dalam aturan yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan memilih orang yang akan menyukseskan hukum selain hukum Allah; maka Lajnah berkata :
إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم على ألا يعمل من رشح نفسه تمام الدخول إلى مناصب لا تتنافي مع الشريعة الإسلامية
"Kecuali apabila orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at Islam, dan menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan (pemerintahan), (maka hal ini diperbolehkan). Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan syari'at Islam" [baca : sini ].